Buku "Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan"
Pendahuluan
Buku Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan
ini merupakan salah satu sumber bahan dalam proses pembelajaran Mata Kuliah
Pendidikan Seni Rupa bagi mahasiswa PGSD dan PGTK. Materi buku ini telah
disempurnakan dari buku Pendidikan Seni Rupa yang diterbitkan tahun 2003 yang
lalu. Ada beberapa bagian yang diperbaharui dan disesuaikan dengan kurikulum
Kerajinan Tangan dan Kesenian Sekolah Dasar yang berbasis kompetensi.
Pendidikan Seni Rupa yang berfungsi sebagai dasar keilmuan akan
memberikan landasan konseptual bagi mata pelajaran Kerajinan Tangan dan
Kesenian. Dalam ilmu pendidikan seni rupa, terdapat kerangka teoretik yang
sangat berharga bagi penerapan dan pengayaan materi Kerajinan Tangan dan
Kesenian di Sekolah Dasar atau Taman Kanak-kanak. Oleh karena itu, pada buku
ini tidak sepenuhnya mengacu pada kurikulum Kertakes SD, tetapi lebih luas dan
mendasar. Pada bahasan praktika diberikan beberapa pilihan tugas berkarya bagi
Guru (calon guru) yang dapat diterapkan dalam mata pelajaran Kertakes.
Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes) diberikan bagi murid SD
guna menumbuhkan kepekaan rasa keindahan (estetika) sehingga membentuk sikap
kreatif, apresiatif dan kritis. Kertakes memberikan kesempatan kepada siswa
untuk memperoleh pengalaman berapresiasi dan berkreasi yang dapat menghasilkan
suatu benda yang bermanfaat.
Pembelajaran Kertakes
memiliki fungsi dan tujuan untuk menumbuhkembangkan berbagai potensi, sikap dan
keterampilan (baca Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kertakes,
Depdiknas, 2003, halaman 6-8). Fungsi dan tujuan Kertakes adalah:
1.
Mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa melalui penelaahan jenis,
bentuk, sifat, fungsi, alat, bahan, proses, dan teknik
dalam membuat berbagai
produk teknologi dan seni yangberguna bagi kehidupan manusia, termasuk
pengetahuan seni dan keterampilan dalam konteks budaya yang multikultural.
2. Mengembangkan kemampuan intelektual,
imajinatif, ekspresi, kepekaan rasa, kepekaan kreatif, keterampilan, dan
mengapresiasi/menghargai hasil karya seni dan kerajinan dari berbagai wilayah
Nusantara dan mancanegara.
3. Menumbuhkembangkan sikap profesional,
kooperatif, toleransi,
kepemimpinan (leadership), kekaryaan (employmentship), dan
kewirausahaan (enterpreneurship).
Pada bagian
pendahuluan Kurikulum Kertakes untuk SD tahun 2004 dipaparkan juga tentang
Standar Kompetensi Bahan Kajian. Kompetensi standar Kertakes adalah:
1. SENI RUPA. Siswa mampu menggunakan kepekaan
inderawi dan intelektual dalam memahami, mepresentasi tentang keragaman
gagasan, teknik, materi, dan keahlian berkarya senirupa dua dimensi dan tiga
dimensi. Siswa mampu mengunakan rasa estetika dalam mempersepsi, memahami,
menanggapi, merefleksi, menganalisis, dan mengevaluasi karya seni rupa
Nusantara dan mancanegara. Siswa juga dituntut untuk mampu berekspresi karya
seni rupa dengan berbagai teknik dan media seni rupa Nusantara dan mancanegara.
Siswa juga harus mampu mengkomunikasikan gagasan, teknik, materi, dan keahlian
berkarya seni rupa Nusantara melalui kegiatan pameran dan pergelaran.
2. KERAJINAN. Siswa mampu mengkomunikasikan
persepsi tentang benda jadi atau perkakas buatan manusia (artefak) dan
budayanya dari wilayah lokal, Nusantara dan mancanegara, dengan kepekaan
inderawi untuk mengasah proses berfikir dalam tahapan memahami, menanggapi,
merefleksi, menganalisis, menganalisis, dan mengevaluasi, serta proses
merasakan nilai guna dan keindahan dari produk kerajinan (kria) yang disajikan
dalam bentuk gambar rencana dan/atau bentuk sebenarnya. Siswa juga ditunut
untuk mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan
kemampuan dalam bentuk karya kreasi benda jadi atau perkakas berdasarkan
pengalaman apresiasinya. Siswa mampu menggunakan berbagai bahan alam dan buatan
dengan mengutamakan nilai budaya lokal (local genius), nilai guna dan nilai
estetika. Kemampuan tersebut dilengkapi dengan keterampilan
mengkomunikasikan/menyajikan karya dalam pameran.
3. TEKNOLOGI. Siswa mampu mengkomunikasikan
persepsi sesuai dengan kemampuan pada aspek teknologi dari benda jadi atau
perkakas (artefak) atau benda pakai, dengan menggunakan kepekaan inderawi dan
mengasah proses berfikir dalam tahapan memahami, menganalisis, dan
mengevaluasi, menanggapi, merefleksi serta proses merasakan nilai teknologi,
nilai guna maupun nilai keindahan dari produk yang disajikan dalam bentuk
gambar rencana dan atau bentuk sebenarnya.
Siswa juga mampu
mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan kemampuan dalam
bentuk karya/kreasi benda teknologi berdasarkan pengalaman apresiasi yang
didapatnya, menggunakan berbagai bahan alam maupun buatan dengan mengutamakan
nilai budaya lokal (local genius), dan nilai teknologi, nilai guna, nilai
keindahan dan tata cara dalam pameran.
Bagan berikut ini menggambarkan secara garis
besar Standar Kompetensi yang dirancang sesuai dengan kebutuhan perkembangan
siswa SD secara optimal dalam Kerajinan Tangan dan Kesenian.
|
Bagan: Hubungan
Sistemik Konsep Dasar Kompetensi
Bagan di atas
menggambarkan hubungan sistemik konsep standar kompetensi dalam Mata Pelajaran
Kertakes. Konsep standar kompetensi secara garis besar diarahkan melalui materi
pokok seni, kerajinan dan teknologi. Teknologi sebagai materi baru
dalam Kertakes tidak bisa dilepaskan dari kesenian dan kerajinan. Sebuah karya
seni dan kerajinan membutuhkan teknik baik dalam mengolah media (bahan/alat)
maupun dalam mengembangkan pengunaan media tersebut secara optimal melalui
kegiatan ekspereimentasi, eksplorasi dan eksploatasi yang bersifat konstruktif.
Dalam buku ini kajian teknologi tidak disajikan dalam bentuk bahasan khusus,
karena pada dasarnya teknologi akan tercapai melalui kompetensi kerajinan. Yang
penting adalah bagaimana para guru mengolah unsur gagasan, tema, dan objek yang
bermuatan teknologi atau kerajinan.
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki segala kelebihan dan
kesempurnaan, yang sangat berbeda dengan binatang. Binatang berkembang dari
masa ke masa secara statis, alamiah, dan dengan perilaku yang naluriah. Manusia
berkembang secara dinamis, bergerak dan berubah dari waktu ke waktu karena
sejalan dengan perkembangan akal, budi, dan dayanya. Oleh karena itu manusia
disebut sebagai mahluk budaya. Mahluk yang menggunakan akal (rasio) dalam
berpikir untuk mengembangkan kehidupannya.
Ketika dilahirkan di
muka bumi, manusia dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan
manusia -ketika dilahirkan- tampak dari keharusannya untuk belajar dan
beradaptasi terhadap alam dan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan makhluk
hewan yang telah siap hidup dalam alam lingkungannya tanpa harus melalui proses
belajar dan adaptasi yang lama. Dalam proses menuju kesempurnaannya, makhluk
manusia memerlukan berbagai upaya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Upaya
yang dilakukan manusia itu merupakan suatu pemanfaatan sejumlah kemampuan yang
dimilikinya. Kemampuan manusia tersebut di antaranya kemampuan otak yang dapat
mengembangkan proses berpikir atau berakal budi. Kemampuan berakal budi pada
manusia tidak dimiliki jenis makhluk lainnya, sehingga manusia disebut juga
sebagai makhluk berakal budi atau makhluk berpikir. Dengan kemampuan berpikir,
manusia dapat mengembangkan sistem-sistem yang dapat membantu mempertahankan
kehidupannya. Sistem-sistem tersebut adalah sistem bahasa, sistem pengetahuan,
sistem organisasi sosial, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem
religi, dan kesenian). Keseluruhan sistem tersebut dinamakan kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1990:98).
|
Keseluruhan sistem tersebut mewujudkan beragam bentuk dan medium
yang artifisial, sehingga dalam kehidupannya manusia berhadapan dengan realitas
baru yaitu dunia simbol. Menurut Ernst Cassirer (1990) manusia tidak
hanya hidup dalam dunia fisik, tetapi hidup dalam dunia simbolis. Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis itu. Cassirer juga menegaskan bahwa manusia selain memiliki kemampuan sistem berpikir, juga memiliki kemampuan sistem simbolis. Dengan sistem ini manusia mengembangkan pemikiran simbolis dan perilaku simbolis sebagai ciri khas manusiawi -yang berbeda dengan binatang. Hal ini terbukti karena manusia membuat dan menggunakan simbol dalam kehidupannya. Kehidupan budaya manusia dengan kekayaan dan ragamnya adalah bentuk-bentuk simbolis. Perkembangan kebudayaan manusia di dunia ini berkaitan erat dengan kemajuan sistem simbolis manusia.
hanya hidup dalam dunia fisik, tetapi hidup dalam dunia simbolis. Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis itu. Cassirer juga menegaskan bahwa manusia selain memiliki kemampuan sistem berpikir, juga memiliki kemampuan sistem simbolis. Dengan sistem ini manusia mengembangkan pemikiran simbolis dan perilaku simbolis sebagai ciri khas manusiawi -yang berbeda dengan binatang. Hal ini terbukti karena manusia membuat dan menggunakan simbol dalam kehidupannya. Kehidupan budaya manusia dengan kekayaan dan ragamnya adalah bentuk-bentuk simbolis. Perkembangan kebudayaan manusia di dunia ini berkaitan erat dengan kemajuan sistem simbolis manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan tidak bisa lepas
dengan kehidupan manusia yang lain. Hal ini berarti bahwa manusia dalam
mempertahankan hidupnya memerlukan interaksi dengan sesama dan lingkungannya.
Interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan berkembang menjadi salah satu
kebutuhan (sosial), karena setiap manusia senantiasa memerlukan keberadaan manusia
yang lain. Dengan demikian, manusia selain sebagai makhluk budaya juga makhluk
sosial.
Kelompok manusia yang terorganisir dalam suatu masyarakat
mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk menciptakan kebudayaan. Sehingga
kebudayaan yang diciptakan masyarakat sebenarnya akan merupakan sistem
pengetahuan dan kepercayaan manusia yang disusun sebagai pedoman manusia dalam
mengatur pengalamannya dan persepsi manusia untuk menentukan tindakan dan juga
untuk memilih di antara alternatif yang ada (Kessing, 1981:68).
Salah satu unsur (subsistem) kebudayaan yang hidup di masyarakat
adalah kesenian. Jika kebudayaan dipandang sebagai sistem pengetahuan atau
sistem gagasan, maka konsekuensi logisnya kesenian merupakan sistem
pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan yang merujuk pada nilai keindahan.
Kesenian yang berkembang dalam suatu kebudayaan masyarakat memiliki nilai-
nilai yang bersifat universal. Artinya, bahwa kesenian dapat dipolakan secara
sama.
Kesenian merupakan perwujudan dari ekspresi perasaan manusia. Manusia
sebagai pencipta seni mengungkapkan perasaannya melalui beragam medium seni,
dan karya seni merupakan suatu bentuk perwujudannya. Dalam konteks kesenian,
ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu pencipta seni (seniman),
penikmat seni (masyarakat), dan karya seni (artifak).
Pencipta seni (seniman) -sebagai bagian dari masyarakat-
merefleksikan kehidupan alam, masyarakat dan kebudayaannya dalam wujud karya
seni yang sangat beragam, dan unik. Keragaman dan keunikan sebagai akibat dari
keragaman kondisi alam, masyarakat dan kebudayaannya.
Suatu kesenian akan dapat berkembang karena didukung oleh
masyarakatnya. Masyarakat berperan sebagai penikmat yang merasakan dampak seni
bukan dari perasaan atau pengertiannya tetapi dari imajinasinya. Setiap masyarakat
memiliki bentuk kesenian yang berbeda karena masyarakat juga berbeda-beda.
Kesenian yang berkembang pada kelompok masyarakat perkotaan berbeda dengan
masyarakat pedesaan. Kesenian masyarakat modern berbeda pula dengan masyarakat
tradisional. Perbedaan tersebut disebabkan antara lain oleh sistem nilai,
kondisi alam dan lingkungan, serta tatanan sosial- budayga.
Karya seni anak-anak
juga dapat dikelompokkan ke dalam karya seni, walaupun ketegasan mengenai seni
anak-anak baru dibicarakan dalam wacana pendidikan seni. Artinya bahwa ada
semacam dua paradigma dalam kenyataan seni orang dewasa dan seni anak-anak.
Atau hal ini mungkin disebabkan oleh pernyataan yang menegaskan bahwa semua
anak itu "seniman" atau manusia kreatif, yang memiliki kebakatan
universal dalam masa petumbuhan psikologis anak-anak.
Dua Contoh Karya Seni Lukis
Anak-anak
|
B. Pengertian Seni
Seni mempunyai usia yang lebih kurang sama dengan keberadaan
manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang sangat tua, seni telah menjadi bagian
dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi, dengan beraneka
macam bentuk dan jenis. Walaupun orang telah akrab dengan istilah 'seni', namun
terkadang masih belum jelas tentang 'apakah definisi seni itu'.
Herbert Read
menyatakan bahwa istilah 'art pada umumnya dihubungkan dengan bagia
seni yang biasa ditandai dengan istilah'plastiC atau 'visual', tetapi
semestinya di dalamnya termasuk pula seni sastra dan seni musik.
Beberapa Contoh Karya Seni Rupa
Zaman Prasejarah di Indonesia
|
Sesungguhnya memang terdapat ciri-ciri tertentu yang dapat
menandai semua cabang seni, dan sekalipun dalam catatan ini kita hanya
berurusan denan seni plastis (seni rupa), namun suatu definisi yang berlaku
umum terhadap semua cabang seni akan merupakan suatu titik tolak yang baik bagi
penjelajahan kita.
Schopenhauer adalah orang pertama yang menyatakan bahwa semua
cabang seni bersumber pada kondisi seni musik; pernyataan ini sering disebut-
sebut, sehingga menyebabkan sebagian besar kesalahtafsiran, namun sebenarnya ia
mengungkapkan suatu kebenaran yang penting. Sesungguhnya Schopenhauer berpikir
tentang kualitas abstrak dari seni musik, dan hampir hanya dalam seni musik
saja seorang seniman memiliki kemungkinan untuk menarik perhatian publik secara
langsung, tanpa intervensi medium komunikasinya yang sering juga dipakai untuk
maksud-maksud lain.
Dalam hal ini kita dapat mengambil beberapa contoh. Seorang
Penyair mesti menggunakan kata-kata yang berhubungan erat dengan maknanya dalam
dialog sehari-hari. Seorang pelukis biasanya berekspresi dengan pengambaran
keadaan dunia ini.
Hanya seorang komponis musiklah yang betul-betul bebas
menciptakan karya seni sesuai dengan kesadarannya sendiri, dan dengan tiada
tujuan lain kecuali untuk dapat menyenangkan.
Tetapi sebenarnya semua seniman mempunyai tujuan yang sama,
ialah untuk menyenangkan, dan secara sederhana Herbert Read menyimpulkan bahwa
seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.
Bentuk yang menyenangkan berarti memuaskan kesadaran keindahan
kita. Rasa indah itu tercapai bila kita bisa menemukan kesatuan atau harmoni
dari hubungan bentuk-bentuk yang kita amati. Definisi ini menyatakan pandangan
dari segi kebentukan fisik (obyektivitas).
Definisi seni yang sederhana dan sering dilontarkan oleh publik
secara umum ialah segala macam keindahan yang diciptakan manusia. Orang
memandang bahwa seni merupakan karya keindahan yang menimbulkan kenikmatan.
Kenikmatan meliputi aspek kepuasan jasmani-rohani, yang muncul setelah terjadi
respon kepuasan dalam jiwa manusia, baik sebagai pencipta (kreator) ataupun
penikmat (apresiator).
Kesenian tradisional kita, misalnya gamelan, merupakan paduan
suara (nada) yang indah yang mengenakkan telingan (pendengaran). Hiasan ukiran
pada suatu dinding kamar memberikan kesemarakan pandangan mata. Tarian Sunda
yang lembut dan gemulai juga menyejukkan rasa, setelah kita menikmati dan
menghayatinya.
Kini persoalan seni
adalah keindahan tidak selamanya bertahansebagai satu-satunya definisi.
Dalam seni kontemporer (termasuk seni modern) yang dihasilkan seniman tidak
hanya karya yang indah, tetapi juga karya yang tidak indah dan tidak
menyenangkan. Banyak karya seni kini lahir justru bukannya menyenangkan, tetapi
memberikan berbagai persoalan yang rumit (sebagai problem kehidupan). Tema
dalam seni tumbuh dari manifestasi kesengsaraan, kemelaratan kekacauan atau
bahkan protes sosial, dengan berbagai teknik dan
|
Karya Seni Lukis Dinding Gua (Cave Painting), Zaman Prasejarah di Indonesia
Jika menonton atau
menikmati karya seni teater atau musik kontemporer, serasa kita digelitik
perasaan, atau dikuras pemikiran kita untuk berupaya menelusuri alur cerita
yang absurd (tidak mudah dimengerti, atau tidak berujung pangkal).
Kadang-kadang juga dihadapkan pada rangsangan interpretasi (penafsiran) isi/
bentuk seni yang sedang atau sudah kita nikmati.
metode penciptaan yang eksperimental dan bernuansa
ekspresif dalam berbagai bentuk ungkapan.
|
Definisi seni yang
lain dapat dijumpai dalam Everyman Encyclopedia, yaitu bahwa seni
merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang bukan atas dorongan kebutuhan
pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukannya semata-mata karena
kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena kebutuhan spiritual. Sendok
dibuat untuk memenuhi kebutuhan pokok, sebagai alat makan. Maka sendok bukanlah
karya seni menurut definisi tersebut. Masih banyak karya (benda) yang lain yang
kita jumpai, misalnya rumah, pakaian penutup aurat, dan barang yang digunakan
untuk kebutuhan pokok hidup kita, yang bukan seni. Yang seni yaitu alat musik
gamelan, ukiran kayu, dan lain-lain sejenisnya. Pakaian kita sebagai penutup
aurat yang dibuat bukan hanya sebagai penutup atau pelindung fisik, tetapi si
perancang (pembuat pakaian) berusaha memperindah motif serta modelnya dengan
tujuan untuk menghias pakaian tersebut, tentu saja hiasan atau model pakaian
itu merupakan karya seni.
|
Kapak Bahu, Karya Kria/Kerajinan Zaman
Prasejarah: Berfungsi sebagai
Perkakas Sehari-hari
Ki Hajar Dewantara seorang tokoh Pendidikan Nasional kita telah
membuat definisi seni sebagai berikut: "Seni adalah perbuatan manusia yang
timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan
jiwa perasaan manusia yang lain, yang menikmati karya seni tersebut" (Ki
Hajar Dewantara, 1962:330).
Definisi Ki Hajar Dewantara tersebut sejalan dengan pemikiran
Leo Tolstoy yang menyatakan bahwa seni memiliki proses 'transfer
offeeling', atau pemindahan perasaan dari si pencipta ke penikmat seni.
Dalam hal ini seni merupakan suatu sarana komunikasi perasaan manusia (Tolstoy,
1960:51).
Definisi yang lain, dari pernyataan Akhdiat Kartamiharja, yang
menekankan bahwa seni merupakan kegiatan psikis (rohani) manusia yang
merefleksi kenyataan (realitas). Karena bentuk dan isi karya tersebut memiliki
daya untuk membangkitkan atau menggugah pengalaman tertentu dalam alam psikis (rohani)
si penikmat atau apresiator. Bila ditelaah, definisi tersebut mengetengahkan
peranan jiwa dalam proses berkarya seni dan karya seni itu sendiri. Seniman
yang melukis (menggambar) hanya dengan menggerakkan tangan saja (aktivitas
fisik), namun tidak melibatkan jiwa (ekspresi emosi), maka karyanya belum dapat
dinamakan seni.
Ahli seni dan filsuf berkebangsaan Amerika, Thomas Munro,
mendefinisikan seni sebagai alat buatan manusia yang menimbulkan efek-efek
psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup
tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan, imajinasi, yang
rasional maupun emosional (Munro, 1963:19). Kedua definisi terakhir tersebut di
atas memberikan pernyataan yang sama, yaitu seni sebagai kegiatan psikis (rohani)
atau merupakan manifestasi jiwa.
Sudjojono, seorang pelukis zaman revolusi kemerdekaan Indonesia,
yang dianggap sebagai pendobrak tradisi seni lukis pemandangan alam, juga
menyatakan bahwa seni adalah produk ekspresi jiwa. Seni tanpa jiwa ibarat
masakan tanpa garam. Isi karya seni yang hidup tercermin dari kandungan
psikis/jiwanya (Yuliman, 1976:9-10).
Popo Iskandar, pelukis
akademis, yang pengabdiannya pada dunia seni lukis dan pendidikan seni rupa
telah cukup lama, menyatakan bahwa seni merupakan ekspresi yang dikongkritkan
dalam kesadaran hidup berkelompok atau bermasyarakat.
|
Karya Seni Lukis Baru Indonesia, Popo
Iskandar: "Empat Macan" (1998)
Karya seni juga memiliki nilai sosial. Kehadiran seni didukung
oleh adanya komunikasi antara masyarakat dengan pencipta (seniman). Ekspresi
seni yang terwujud menjadi karya seni yang merupakan sarana komunikasi dan
dalam upaya berinteraksi sosial. Mustahil karya seni dikatakan keberadaannya tanpa
dukungan masyarakat penikmat (apresiator). Justru proses berkesenian merupakan
satu kesatuan antar unsur pencipta dan penikmat, hingga terjadi intteraksi
apresiatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seni diartikan sebagai
keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya,
keindahannya, dan sebagainya) (Depdikbud, 1989:816).
Masih banyak definisi dari para pakar seni, seniman, guru seni
ataupun masyarakat penikmat seni. Secara sementara kita dapat menyusun sendiri
definisi seni yang didasari oleh berbagai definisi sebelumnya.
Seni ialah ekspresi
perasaan manusia yang dikongkritkan, untuk mengkomunikasikan pengalaman
batinnya kepada orang lain (masyarakat penikmat) sehingga merangsang timbulnya
pengalaman batin pula kepada penikmat yang menghayatinya. Seni lahir karena
upaya manusia dalam memahami kehidupan ini, baik kehidupan sosial, ekonomi,
alam, dan sebagainya. Ekspresi tersebut dikongkritkan melalui media gerak
(tari), suara (musik), rupa, dan penggabungan/peleburan berbagai media akan
melahirkan kesatuan estetik. Media berekspresi seni rupa meliputi bentuk,
warna, bidang, garis, barik/tekstur, dan unsur-unsur estetik.
Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati sejak zaman
Yunani Kuno sampai abad 18 ialah masalah yang berkaitan dengan
keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh para filsuf ialah
"Apakah keidahan itu?".
Menurut asal katanya, "keindahan" dalam perkataan
bahasa Inggris: beautiful (dalam bahasa
Perancis beau, sedang Italia dan Spanyol bello yang berasal
dari kata Latin bellum. Akar katanya adalahbonum yang berarti
kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan
terakhir dipendekkan sehingga ditulis bellum. Menurut cakupannya
orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan
sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa
Inggris sering dipergunakan istilah beauty (kendahan) dan the
beautifull (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua
pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan saja.
Selain itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian
yaitu:
a. Keindahan dalam arti yang luas.
b. Keindahan dalam arti estetis murni.
c. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan
penglihatan.
Keindahan dalam arti yang luas, merupakan pengertian semula
dari bangsa Yunani, yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan. Plato misalnya
menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles
merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan.
Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani
dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang
indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis
yang disebutnya symmetria ntuk keindahan berdasarkan penglihatan
(misalnya pada karya pahat dan arsitektur) dan 'harmonia' untuk keindahan
berdasarkan pendengaran (musik). Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya
meliputi: - keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral,
keindahan
intelektual. Keindahan dalam arti estetika murni,menyangkut pengalaman
estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang
dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas, lebih disempitkan
sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni
berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat mata.
Pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut di atas,
masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini memang merupakan suatu
persoalan fisafati yang jawabannya beranekaragam. Salah satu jawaban mencari
ciri-ciri umum yang pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian
menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi
keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat
pada sesuatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony),kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan
perlawanan (contrast).
Ciri-ciri pokok tersebut oleh ahli pikir yang menyatakan bahwa
keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan dan perlawanan dari garis, warna,
bentuk, nada dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah
suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara
benda itu dengan si pengamat. Seorang filsuf seni dewasa ini dari Inggris
bernama Herbert Read dalam (The Meaning of Art)merumuskan
definisi bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan-hubungan bentuk yang
terdapat diantara pencerapan-pencerapan inderawi kita (beauty is
unity of formal relations among our sense-perceptions).
Sebagian filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan
ide kesenangan (pleasure). Misalnya kaum Sofis di Atena (abad 5
sebelum Masehi) memberikan batasan keindahan sebgai sesuatu yang menyenangkan
terhadap penglihatan atau pendengaran (that which is pleasant
to sight or hearing). Sedang filsuf Abad Tengah yang
terkenal Thomas Aquinas (1225-1274)merumuskan keindahan
sebagai id quod visum placet (sesuatu yangmenyenangkan bila dilihat).
Masih banyak
definisi-definisi lainnya yang dapt dikemukakan, tapi tampaknya takkan
memperdalam pemahaman orang tentang keindahan, karena berlain-lainannya
perumusan yang diberikan oleh masing-masing filsuf. Kini para ahli estetik
umumnya berpendapat bahwa membuat batasan dari istilah seperti 'keindahan' atau
'indah' itu merupakan problem semantik modern yang tiada satu jawaban yang
benar. Dalam estetik modern orang lebih banyak berbicara tentang seni dan
pengalaman estetis, karena ini bukan pengertian abstrak melainkan gejala
sesuatu yang konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan
penguraian yang sistematis. Oleh karena itu mulai abad 18 pengertian keindahan
kehilangan kedudukannya. Bahkan menurut ahli estetik Polandia Wladyslaw
Tatarkiewicz, orang jarang menemukan konsepsi tentang keindahan dalam
tulisan-tulisan estetik dari abad 20 ini.
Karya Seni Rupa Modern
Barat, Jackson Pollock
|
Karya Seni Rupa Baru Indonesia,
Affandi
|
Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat
yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut
pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga
subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan
menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni
sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang
juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup,
sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah
perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk
menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu kemudian orang lebih
menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang
dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880 1934).
Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya
nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan
dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai
estetis. Dalam hal ini keindahan "dianggap" searti dengan nilai
estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak
menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai
penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang
bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk
masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau
karena coraknya spesifik.
Yang kini menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan
nilai? Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu
kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth)atau
kebaikan (goodness). Dalam Dictionary od Sociology and
RelatedSciences diberikan perumusan tentang value yang lebih
terperinci lagi sebagai berikut: The believed capacity of any object to
satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of
interest to an individual or a group. (Kemampuan yang dipercayai ada pada
sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda
yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan).
Menurut kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu
realita psikologis yang harus dibedakan secra tegas dari kegunaan, karena
terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh
orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam
bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu
cabangnya yang disebutaxiology atau kini lebih sering disebut theory
of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai
sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types
of value)dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of
value).
Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang
membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya
ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan
yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan
nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu
benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering
disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat
alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau
bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan
sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory
value,yakni nilai yang telah lenngkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki.
Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan
dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk
sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya, yakni nilai negatif.
Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut
hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman
orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia. Persoalan
ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan
pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah
sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai
nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai
merupakan unsur-unsur yang tersatupadukan, obyektif dan aktif dari realita
metafisis.
Dalam hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George
Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan
dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan
batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik dan diobyektifkan
(yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak
hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga
dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi
karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi
tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan
suatu pembagian yang lebih terperinci seperti
misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming
(jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah
gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan
biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka
ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada
sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam
lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari
keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang
positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan
nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah
berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut
indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan
sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini,
keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian
seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan
orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi,
dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan
kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran
penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini
diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu
pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat
yang berhubungan dengan "teori keindahan" (theory of
beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka
teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang
menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada
benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya.
Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah
yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk
mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus
manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai
estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta
dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda
(khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa
yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa
ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada.
Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati
sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si
pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis,
hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman
estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang
berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali
hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa
Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika
timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai
keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk satu
kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat. Dikatakan oleh
Hegel, bahwa: "Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu
ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni
dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan
karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata "seni" dan
"keindahan", kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita
selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indahn itu
bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya
kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of
Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya
ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin
kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu
mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara
keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni
bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya
ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman
dalam bentuk yang kongkrit.
Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal
itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas
artistik (estetik elementer).
Ada tingkatan basis aktivitas estetik/artistika:
1. Tingkatan pertama: pengamatan terhadap
kualitas material, warna, suara,
gerak sikap dan banyak
lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain.
2. Tingkatan kedua: penyusunan dan
pengorganisasian hasil pengamatan, pengorganisasia tersebut merupakan
konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan
pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau
merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat
terpenuhi. Namun ada satu tingkat lagi.
3. Tingkatan ketiga: susunan hasil presepsi
(pengamatan). Pengamatan juga
dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang
merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual.
Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.
|
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda
tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung
dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh
Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung
dari proses hibitution(ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman
tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan
keindahan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang
pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya seni?
Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari
benda estetik, melainkan juga menelaah dari karya-karya estetik, melainkan juga
menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha
untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala
psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya seni tersebut (The Liang
Gie 1976: 51).
Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni, maka
penghayat tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan
estetik merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan penghayatnya.
Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung
dalam usaha menangkap nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya seni;
yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam kondisi tersebut, apresiasi bukanlah proses pasif, tetapi merupakan
proses aktif dan kreatif, yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetik yang
dihasilkan dari proses hayatan (Feldman, 1981).
Penghayat yang sedang
memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal
struktur organisasi atau dasar-dasar dari susunan dasar seni rupa, mengenal
tentang garis,shape, warna, teksture, volume, ruang dan waktu. Penghayat
harus mengetahui secara pasti asas-asas pengorganisasian; harmonis, kontras,
gradasi, repetisi, serta hukum keseimbangan, unity danvariaty. Seperti
yang dikatakan Stephen. C Pepper dalam The Liang Gie, bahwa untuk mengatasi
kemonotonan atau kesenadaan yang berlebihan dan juga aspek konfusi atau
kekontrasan yang berlebihan, penyusun karya harus mampu dan berusaha untuk
menampilkan keanekaan (variaty) dan kesatuan (unity) yang
semuanya tetap mempertimbangkan keseimbangan (The Liang Gie, 1976: 54.)
Kapankah seni lahir ke muka bumi? Andaikan ada pertanyaan
seperti itu, maka jawabannya sangatlah mudah, seni lahir sejak manusia berada
di planet bumi ini. Bagaimanakah kita membuktikannya? Sejarah telah menunjukkan
berbagai fakta tentang perkembangan kesenian sejak zaman prasejarah sampai
kini.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo
sapiens)pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya
yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk
membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat
dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada
saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya, dan kita
sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius. Namun
tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi
kepentingan praktis dan estetis saja.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan
di antaranya:
1. Lukisan
gua (cave painting) banyak ditemukan di Eropa dan di Indonesia dengan
berbagai gaya dan bentuk, dengan latar belakang magis.
2. Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif
hias yang menarik untuk kepentingan praktis.
3. Genderang perunggu untuk kepentingan upacara
religi yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris yang
artistik.
4. Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata,
serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam.
Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak karya
seni prasejarah yang lain, baik yang dihasilkan pada zaman paleolitikum,
messolitikum, megalitikum, neolitikum, maupun zaman logam. Perlu dicatat juga
bahwa karya yang memiliki nilai artistik yang tinggi, terutama pada benda-
benda yang tiga dimensional, dihasilkan sejak zaman neolitikum dan zaman logam.
Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya seni,
maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni.
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya
meliputi:
1. Dorongan magis dan religius (keagamaan).
2. Dorongan untuk bermain.
3. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis
(sehari-hari).
Karya Seni Lukis Dinding Gua Zaman
Prasejarah Indonesia, Dorongan
Magis
|
Sejak zaman prasejarah
ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak kelahiran karya seni, dan
akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman
sekarang, seniman berkarya seni didasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan
visinya.
|
Relief Arjuna, Zaman Hindu, Bali Karya Seni
Rupa(Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius
|
Gerbang Pura di Bali Karya Seni
Rupa(Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius
Pada bahasan sebelumnya telah kita bicarakan tentang tokoh
pelukis Indonesia yang menjadi pendobrak kemapanan seni naturalisme (Mooi
Indie, 1900-1940). Selanjutnya kita akan bertanya 'mengapa dia dinamakan
sebagai pendobrak?' Dia dinamakan pendobrak karena memperlihatkan kebiasaan
baru dalam melukis pemandangan alam, dengan menggunakan tekniknya sendiri, yang
menentang teknik dan gaya melukis Mooi Indie.
Gaya lukisan Mooi
Indie pada waktu itu memperlihatkan kebakuan teknik (ingat, hampir 40
tahun gaya ini digandrungi para pelukis Indonesia), dan dinamakan gaya
naturalisme.
22
|
Sudjojono yang dididik pada zaman itu merasakan ketidakpuasaan
dalam berkarya seni. Bagi Sudjojono, kaidah naturalisme Mooi
Indie seolah- olah membendung kebebasan berekspresi. Misalnya cara
melukis langit dan
awan, cara menggambar ruang dengan tiga pengaturan pencahayaan dan pengambarannya, cara pewarnaan berbagai obyek, menjadi penghambat untuk menyalurkan perasaannya. Sudjojono ingin bebas lepas dari tradisi lama, karena dia menemukan kepuasaan lain yang baru dengan caranya sendiri. Sudjojono menyatakan bahwa seni adalah 'jiwa ketok', seni adalah ekspresi. Bagi seniman, seni haruslah memberikan kepuasan batin, dan menjadi arena mengungkapkan ide dan gagasannya. Sejak itu ia memproklamirkan diri: 'Saya pergi ke realisme'. Sewajarnyalah bila para kritisi seni rupa memberikan sebutan kepadanya sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, sebab dia memperjuangkan kebebasan pribadinya dalam menentukan idiom berkarya seni secara otonom. Dia dalam berkarya lukis tidak lagi mengaduk cat minyak di palet untuk mewarnai langit, tetapi kadang-kadang dia mencampur cat secara spontan di atas kanvas sehinga menemukan goresan atau pewarnaan yang tidak terduga, dengan kekuatan garis ekspresif yang dinamis. Sejalan dengan konsepsi dan kebiasaan melukis Sudjojono, lahirlah lukisan-lukisan dengan beraneka gaya dan bentuk. Di antaranya lahirlah gaya ekpresionisme Afandi yang dengan jujur menjadikan obyektivitas perasaannnya dalam lukisannya.
awan, cara menggambar ruang dengan tiga pengaturan pencahayaan dan pengambarannya, cara pewarnaan berbagai obyek, menjadi penghambat untuk menyalurkan perasaannya. Sudjojono ingin bebas lepas dari tradisi lama, karena dia menemukan kepuasaan lain yang baru dengan caranya sendiri. Sudjojono menyatakan bahwa seni adalah 'jiwa ketok', seni adalah ekspresi. Bagi seniman, seni haruslah memberikan kepuasan batin, dan menjadi arena mengungkapkan ide dan gagasannya. Sejak itu ia memproklamirkan diri: 'Saya pergi ke realisme'. Sewajarnyalah bila para kritisi seni rupa memberikan sebutan kepadanya sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, sebab dia memperjuangkan kebebasan pribadinya dalam menentukan idiom berkarya seni secara otonom. Dia dalam berkarya lukis tidak lagi mengaduk cat minyak di palet untuk mewarnai langit, tetapi kadang-kadang dia mencampur cat secara spontan di atas kanvas sehinga menemukan goresan atau pewarnaan yang tidak terduga, dengan kekuatan garis ekspresif yang dinamis. Sejalan dengan konsepsi dan kebiasaan melukis Sudjojono, lahirlah lukisan-lukisan dengan beraneka gaya dan bentuk. Di antaranya lahirlah gaya ekpresionisme Afandi yang dengan jujur menjadikan obyektivitas perasaannnya dalam lukisannya.
Seni memang selalu dihubungkan dengan ekspresi pribadi, sebab
seni lahir dari ungkapan perasaan pribadi penciptanya.
Sehubungan dengan
nilai ekspresi dalam seni, Herbert Read merumuskan tentang kedudukan ekspresi
dalam proses penciptaan seni, sebagai berikut:
- pertama, pengamatan terhadap kualitas
materiil,
- kedua, penyusunan hasil pengamatan
tersebut,
- ketiga, pemanfaatan susunan itu untuk
mengekspresikan emosi atau perasaan yang dirasakan sebelumnya.
Herbert Read juga menyatakan bahwa desain yang estetis sudah
cukup dengan dua tahap terdahulu saja, tetapi untuk membuat desain yang estetis
itu menjadi karya seni, haruslah ditambah dengan ekspresi. Pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa seni adalah susunan yang estetis yang digunakan untuk
mengekspresikan sesuatu perasaan atau emosi tertentu.
Berdasarkan analisis Sanento Yuliman, karya seni yang berkembang
hingga saat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori pendekatan, yaitu:
1. Ada karya seni yang secara tegas didasari
ekspresi, dengan pendekatan emosional (intuitif), misalnya
karya-karya Affandi, Courbet, van Gogh, Pollock, dan lain-lain.
2. Ada pula karya seni yang lebih banyak
pertimbangan rasional (kalkulasi) atas komposisi garis, warna, bentuk, bidang,
warna, dan unsur visual lainnya; karya yang dibuat dengan
pendekatanrasional (intelektual) ini misalnya karya Op Art, Kinetic
Art,Kubisme, Konstruktivisme, Purisme, dan lain-lain.
Dari segi
kebentukan (visual form), kita menyebutnya gaya informal (yang
pertama), dan gaya formal atau rasional yang nonlirisisme (yang kedua).
|
Karya Vincent van Gogh: Street in Auvers Karya Lukis melalui Pendekatan Emosional
(intuitif)
|
Karya
Piet Mondrian: Composition with Red, Yellow, and Blue Karya Lukis
melalui Pendekatan Rasional (intelektual)
D. Seni dan Keindahan
Definisi seni yang sering kita dengar, bahkan para mahasiswa
juga tidak jarang yang masih mengatakan bahwa seni adalah segala keindahan yang
diciptakan manusia. Definisi tersebut secara universal dilontarkan orang,
karena karya seni di setiap bangsa di dunia ini, dari zaman prasejarah hingga
zaman kini mempunyai ciri keindahan. Hubungan seni dan keindahan sangat jelas,
terutama ditinjau dari sudut kebentukan karya seni itu. Jika kita memandang
lukisanRembrandt, pelukis Belanda pada masa Barok, keindahan manusia yang
dilukiskan memperlihatkan cita rasa (taste) klasik. Begitupun
karyaAbdullah, pelukis naturalisme kita melukiskan keindahan pemandangan
alam yang elok. Pada dinding candi terdapat ornamen (hiasan) yang tampak
berkesan indah dan artistik. Patung Michelangeloyang anatomis
mempertimbangkan keindahan postur tubuh yang ideal klasik. Masih banyak lagi
karya-karya seni yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang dikategorikan
sebagai karya seni yang indah.
Namun seandainya kita dihadapkan pada
karya Max Beckmann dari kelompok Neue Sachlichkeit (1918)
yang berjudul 'Night',menggambarkan keadaan manusia yang menyedihkan, sengsara.
Keadaan sengsara, tidak mengenakkan, bukanlah suatu keadaan yang indah, bukan
pemandangan yang menyenangkan, namun itu suatu kenyataan
hidup. Max Beckmann memang melukiskan suatu 'new
objectivity' (obyektivitas baru).
Seniman yang bergaya realisme, sezaman Gustave Courbet,, Edouard
manet, Toulouse Loutrec, Francisco de Goya, pada beberapa karyanya
lebih banyak mengungkapkan kenyataan (realitas) kehidupan di dunia. Realitas
kehidupan di dunia yang ditonjolkan justru sisi kehidupan yang tidak indah.
Apalagi pada perkembangan akhir modernisme dewasa ini. Seni seakan dijadikan
wahana atau media untuk mengekspresikan ide, pikiran, gagasan dan perasaan
individu atau kelompok dalam upaya mengkomunikasikan misi sosial- realistis
kepada publik, dengan penampilan visual yang kreatif.
Dari kretaivitas seniman tersebut memperlihatkan sosok karya
yang sulit dicerna, jika kita melihat dari segi keindahan bentuk saja. Misalnya
bila kita menikmati karya seni eksperimentasi, seni lingkungan, ataupun seni
instalasi. Seonggok sampah pun yang ditata sedemikian rupa dan ditempatkan pada
suatu ruang pameran bisa dikatakan seni, dengan iringan konsep estetis karya
yang disajikan tersebut. Pertanggungjawaban karya secara konsepsional sangat
diperlukan untuk memberikan gambaran kejelasan kepada para penikmatnya.
Sehingga komunikasi seniman dengan apresiator (penikmat) dijembatani dengan
tulisan seniman tentang penalaran ide/gagasan seninya.
Ada pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa tentang
bagaimanakah kita menemukan keindahan pada karya seni instalasi. Sebenarnya
kita akan sulit menjawab pertanyaan itu, namun secara sementara barangkali kita
menjelaskannya bahwa seni itu tidak selalu indah, sebab yang tidak indah pun
dinamakan seni. Pada dasarnya seni itu lahir dari curahan emosi seseorang yang
berupaya berkomunikasi dengan publlik seni, jadi apapun hasilnya,
yang penting di dalamnya terdapat proses berekspresi seni dan komunikasi
emosi dengan menggunakan media seni.
Jika kita mempersoalkan keindahan, ada dua kategori yang
saling bertentangan. Yang satu bersifat subyektif, yang memandang bahwa
indah itu terletak pada diri yang melihat (beauty is in the eye of the
beholder). Sedangkan yang satu lagi bersifat obyektif, yang menempatkan
keindahan pada barang (benda/karya) seni yang kita lihat. Socrates mengatakan
bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan
terakhir. Pendapat ini termasuk kategori subyektif. Yang indah adalah yang
mendatangkan rasa senang tanpa pamrih, dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu.
Pendapat Immanuel Kant tersebut juga bersifat subyektif.
Teori keindahan subyektif akan sulit menjawab persoalan yang
baru muncul, mengapa kita senang terhadap sesuatu. Hal ini akan tergantung pada
diri penikmatnya dengan berbagai keunikan pengalaman batinnya yang berbeda
dengan penikmat yang lain.
Berbeda dengan keindahan obyektif, sebab struktur visual karya
seni (benda tertentu) secara fisik memperlihatkan ciri keindahan itu. Misalnya
jika kita mengamati bunga, timbul pertanyaan, mengapa bunga itu indah, maka
jawabannya adalah bahwa bunga itu mempunyai warna, bentuk, keharuman dan
kehalusan yang memukau. Keindahan obyektif mudah untuk dianalisis atau
dideskripsikan. Para pemikir terdahulu yang menempatkan keindahan pada obyek
seninya ialah Santo Augustinus, Thomas Aquinas danHerbert Read. Santo
Augustinus mendefinisikan keindahan sebagai kesatuan bentuk. Thomas
Aquinas memberikan tiga syarat untuk bisa disebut indah, ialah: (1) adanya
integritas atau perfeksi, (2) proporsi yang tepat atau harmonis, dan (3) adanya
klaritas atau kejelasan. Sedangkan Herbert Read menegaskan bahwa
keindahan ialah kesatuan hubungan bentuk-bentuk.
Jika kita berpendapat bahwa keindahan lukisan itu terletak pada
komposisi warnanya, kesatuan bentuknya, keharmonisan irama garisnya, dan
integritas bidang secara keseluruhan, maka pendapat kita itu termasuk pendukung
teori obyektif. Kesenangan atas keindahan tersebut diletakkan pada obyek
(benda) seni yang dinikmati, bukan pada diri penikmat (subyek).
Kalau kita berpendapat sejalan dengan Herbert Read yang
obyektif, barangkali kita bisa memahami, mengapa yang menjijikkan, jorok-jorok,
kumuh dan kumal pada tema karya seni disebut indah juga. Dasar pertama ialah
bahwa keindahan itu terletak pada obyeknya, tidak pada diri penikmat. Pada
obyek itu terdapat kualitas tertentu yang tidak selalu harus dihubungkan dengan
apapun. Maka yang menjijikkan tidak akan merasa jijik, bila kita tidak
menghubungkan (mengasosiasikan) dengan keadaan atau kenyataan yang sebenarnya
yang ada dalam pengalaman kita.
Berbeda dengan Baumgarten dan Immanuel Kant, filsuf Jerman ini
membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia ini, yaitu kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Kebenaran ialah kesempurnaan yang kita tangkap dengan rasio (ilmu
pengetahuan, misalnya), kebaikan ditangkap dengan moral kita, dan keindahan
ditangkap dengan rasa (indera) kita. Sehingga yang menjijikkan dalam karya bisa
disebut indah karena fasilitas penangkapannya berbeda.
Keindahan sebuah
lukisan harus ditangkap dengan mata, bukan dengan moral. Dalam kenyataan
pengamatan bentuk karya, tidak bisa lepas memisah- misahkan antara rasio, moral
dan rasa (indera). Sehingga kita bisa merangkum kedua teori itu dalam prosespenikmatan terhadap seni.
E. Seni dan Alam
Seni tradisional kita hampir seluruhnya memperlihatkan kedalaman
makna dalam sifat kebentukan seninya. Para seniman (artis maupun
artisan/perajin) Indonesia masa klasik tidak pernah menciptakan karya seni
bertemakan alam secara naturalistik.
Alam yang digambarkan dalam karya seni tidak seseuai dengan
penangkapan mata kita (nonvisual realistik). Alam digambarkan secara
simbolistis, melalui wujud-wujud tertentu. Patung-patung Budha bukan gambaran
orang (ataupun dewa) yang sedang bersemadi, melainkan gambaran ketenangan,
keluhuran, atau kesempurnaan sang Budha. Patung Budha tidak realistis, namun
cenderung bersifat simbolistis. Perhatikan rambutnya, sikap tangannya,
otot-otot dan postur tubuhnya yang nampak tidak menampilkan bentuk anatomis.
Apalagi jika kita mengamati karya wayang kulit, motif hias
Toraja, patung Asmat, dan lain-lain. Karya-karya seni rupa tersebut cenderung
merupakan pengolahan bentuk dari bentuk alam menjadi karya seni dengan proses
stilasi, distorsi, abstraksi, ataupun deformasi.
Bentuk-bentuk abstraksi dan abstrak banyak terdapat pada ornamen
(motif hias) karya kerajinan (kriya), misalnya pada keramik, batik, ukiran
kayu, perhiasan, anyaman, dan lain-lain. Berdasarkan penelitian, ornamen yang
abstrak itupun pada dasarnya mengacu pada bentuk yang ada di alam.
Alam, baik berupa flora, fauna, maupun manusia telah mengilhami
seniman dalam mengekspresikan emosinya secara simbolistis (bersifat
perlambangan) sejak zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan perkembangan
selanjutnya, sampai berkenalan dengan seni rupa Barat (gaya naturalisme).
Perkenalan dengan gaya seni rupa Barat sebenarnya 'menurunkan' derajat seni
rupa Indonesia. Mengapa tidak, sebab seni rupa naturalisme Barat yang
intelektualistis itu hanya menyajikan keindahan alam secara kasat mata (visual
realistis). Keagungan dan keluhuran nilai-nilai budaya bangsa tidak tercermin
dari kekaryaan tersebut, dan mungkin lebih tepat jika dinamakan 'sebagai potret
alam' saja.
Seni rupa Barat yang mulai mencemari khasanah seni rupa
Indonesia Klasik, sebenarnya didasari oleh adanya kolonialisme. Tercatat dalam
sejarah, Raden Saleh dijadikan sebagai perintis seni rupa baru Indonesia karena
membawa napas baru dalam kesenirupaan kita. Seni romantik Raden Saleh
diperolehnya dari Eropa (Barat), ketika dia belajar melukis dan tinggal selama
lebih dari 20 tahun di negeri itu. Sepeninggal Raden Saleh, gaya romatik di
Indonesia tidak sempat berkembang, karena dia tidak memiliki murid atau tidak
menurunkannya kepada generasi yang lain.
Cara melukiskan alam secara akurat dengan
menitikberatkan pada keindahan
alam Indonesia kembali membahana pada tahun 1900 sampai 1940. Selama kurang
lebih 40 tahun kesenirupaan Indonesia hidup dengan tema keindahan alam yang
naturalistis. Penyebab kecenderungan para pelukis kita gemar melukiskan
keindahan alam itu di antaranya karena (1) perkenalan dengan pelukis Barat
(Eropa) yang mempengaruhi gaya//teknik naturalisme, (2) konsumen lukisan
pemandangan alam berkembang, baik di Indonesia maupun di Eropa, khususnya kaum
borjuis, (3) minat pelukis meningkat terhadap gaya/teknik pelukisan pemandangan
alam.
Jika ditelusuri sumber sejarah seni rupa naturalisme ialah
didasari oleh kebudayaan Yunani (abad ke-6 sebelum Masehi), bersamaan dengan
perpindahan kedua nenek moyang kita dari Asia Tenggara ke Indonesia. Yunani
telah mamppu meniru alam secara akurat. Karya seni rupa Yunani itu di antaranya
patung dewa-dewi yang anatomis, dengan proporsi bentuk yang ideal. Bentuk
tersebut dicapainya dengan pertimbangan rasional, yang mewujudkan idealisme
dalam pikirannya. Pada masa itu seni berarti meniru alam (mimesis). Proses
peniruan akan berhasil tepat dan baik jika kita menguasai teknik. Teknik bisa
dikuasai jika mempelajari ilmu dan teknologi berkarya, misalnya mempelajari
ilmu anatomi, perspektif, komposisi, dan ilmu warna, serta ilmu- ilmu lain yang
memuat kaidah berkarya seni.
Seni rupa Yunani klasik yang naturalistis itu diwariskan dan
dipelajari kembali oleh para seniman pada masa Reneisan (Renaissance)dan
gerakan seni selanjutnya yang berpegang pada kaidah klasik.
Dalam menanggapi alam, para seniman memilih sikap yang berbeda.
Ada yang meniru alam secara akurat (kasat mata) atau secara fotografis
(bergaya naturalisme). Namun ada pula yang mengolah alam dengan
berbagai pendekatan dan teknik (misalnya deformasi, stilasi, abstraksi, dsb)
dan dengan pandangan subyektifnya terhadap alam. Hal ini yang mendasari
munculnya otonomi (kebebasan pribadi) dalam berkarya seni.
Selain itu para seniman juga berupaya mengemukakan keadaan alam
ini apa adanya secara realistis (apa adanya sesuai kenyataan hidup). Alam oleh
seniman dipandang sebagai tema (subject - matter), kadang-kadang ada
yang memandang sebagai motif atau juga dijadikannya sebagai bahan studi.
Bagaimanapun sikap
seniman terhadap alam, ternyata kekaryaannya banyak sekali yang mengikat
hubungan dengan alam. Sehingga tidak mengherankan jika orang dulu pernah
mangatakan bahwa alam adalah guru para seniman atau nature artis magistra.
F. Seni dan Teknologi
Salah satu fungsi seni, selain untuk kepentingan individual dan
sosial, adalah untuk mendukung kebutuhan fisik, yang berkaitan dengan
perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti: alat rumah tangga, perumahan,
teknologi/industri. Keterkaitan seni rupa dengan teknologi tak lepas dari sifat
kodrati manusia yang selalu ingin memperoleh kenyamanan, kepuasan dan
keindahan. Pakaian yang dipakai tidak cukup hanya sekedar untuk melindungi
tubuh, tetapi ingin tampak indah, serasi, mode yang tidak ketinggalan zaman.
Orang tidak puas jika rumahnya berbentuk kotak saja, sekalipun memenuhi syarat
kesehatan; tetapi ia atur warna catnya, pintunya, plafonnya sesuai dengan
seleranya. Demikian juga dalam memilih pakaian, ibu-ibu atau para remaja
misalnya berjam-jam keluar masuk toko sekedar ingin membeli satu setel pakaian
yang modenya cocok dengan seleranya.
Dengan semakin banyaknya temuan-temuan teknologi, yang
menghasilkan begitu banyak barang-barang, maka peranan seni rupa/desain semakin
terasa untuk memberi sentuhan estetik terhadap barang-barang tersebut. Sentuhan
estetik, khususnya dalam rancang bangun suatu produk menghasilkan nilai tambah yang
bersifat psikologis maupun finansial/ekonomik. Sebaliknya, kemajuan teknologi
dapat pula dimanfaatkan bagi pembuatan karya seni/desain, misalnya desain atau
ilustrasi dengan bantuan program-program komputer. Persoalannya, desainer,
arsitek atau ilustrator tidak memiliki kebebasan seperti pelukis dalam membuat
karyanya, karena suatu benda atau bangunan memiliki bahan/material khusus dan
kegunaan tertentu sebagai benda pakai. Arsitek tak bisa seenaknya merancang
bentuk gedung pertemuan tanpa memperhitungkan keamanan dan daya tampung
pengunjung. Jadi, masalahnya adalah, bagaimana memadukan bentuk dengan bahan
dan fungsi. Dalam hal inilah teknologi dan seni rupa berkaitan sangat erat.
Oleh sebab itu, pendidikan seni sejak dini perlu memberi kesadaran kepada siswa
-yang di antaranya kelak mungkin ada yang jadi pemimpin, pengusaha,
industriawan—bahwa teknologi dan seni memiliki keterkaitan yang erat dan saling
menunjang. Seni bukan sekedar sarana ekspresi individual, tetapi juga sarana
penunjang kehidupan yang lebih luas, khususnya teknologi, namun orang
kebanyakan tidak menyadarinya.
Gambar contoh karya
desain produk otomotif berikut ini yang memadukan unsur seni (estetik) dan
teknologi modern merupakan konsep terpadu yang mempertimbangkan fungsi,
mobilitas, kenyamanan, keindahan, dan keamanan.
|
Mobil
Sedan dan Sepeda Motor Modern yang tampil artistik: bukti adanya sentuhan
estetika seni rupa (desain produk) pada karya teknologi automotif
(penerapan
unsur bentuk, warna, garis, dengan komposisi yang terpadu)
A. Pengertian Estetika
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu
cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah
pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit.
Estetika yang berasal dari bahasa Yunani
"aisthetika" berarti hal-hal yang dapat dicerap oleh
pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai pencerapan
indera (sense of perception).Alexander Baumgarten (1714
1762), seorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata
"aisthetika", sebagai penerus pendapatCottfried
Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia
mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu
sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).
Untuk estetika sebaiknya jangan dipakai kata filsafat keindahan
karena estetika kini tidak lagi semata-mata menjadi permasalahan falsafi tapi
sudah sangat ilmiah. Dewasa ini tidak hanya membicarakan keindahan saja dalam
seni atau pengalaman estetis, tetapi juga gaya atau aliran seni, perkembangan
seni dan sebagainya.
Masalah dalam seni banyak sekali. Di antara masalah tersebut
yang penting adalah masalah manakah yang termasuk estetika, dan berdasarkan
masalah apa dan ciri yang bagaimana. Hal ini dikemukakan
oleh George T. Dickie dalam bukunya "Aesthetica".
Dia mengemukakan tiga derajat masalah (pertanyaan) untuk mengisolir
masalah-masalah estetika. Yaitu pertama, pernyataan kritis yang
mengambarkan,, menafsirkan, atau menilai karya-karya seni yang
khas. Kedua pernyataan yang bersifat umum oleh para ahli sastra,
musik atau seni untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik
(misalnya: tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak). Ketiga, ada
pertanyaan tentang keindahan, seni imitasi, dan lain-lain.
B. Estetika
dan Filsafat
Filsafat merupakan bidang pengetahuan yang senantiasa bertanya
dan mencoba menjawab persoalan-persoalan yang sangat menarik perhatian manusia
sejak dahulu hingga sekarang. Salah satu persoalan yang mendasari ungkapan rasa
manusia adalah estetika, jika peranannya sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan.
The Liang Gie menyatakan ada enam jenis persoalan falsafi,
yaitu:
1. Persoalan metafisis (methaphysical
problem)
2. Persoalan epistemologis (epistemological
problem)
3. Persoalan
metodologis (methodological problem)
4. Persoalan logis (logical problem)
5. Persoalan etis (ethical problem)
6. Persoalan estetika (esthetic problem)
Pendapat umum menyatakan bahwa estetika adalah cabang dari
filsafat, artinya filsafat yang membicarakan keindahan.
Persoalan estetika pada pokoknya meliputi empat hal:
1. Nilai estetika (esthetic value)
2. Pengalaman estetis (esthetic experience)
3. Perilaku orang yang mencipta (seniman)
4. Seni
Menurut Louis Kattsof,
estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan batasan
rakitan (stucture) dan peranan (role) dari keindahan,
khususnya dalam seni. Kemudian muncul pertanyaan: apakah itu seni? Apakah teori
tentang seni? Apa keindahan dan teori tentang keindahan? Apakah keindahan itu
obyektif atau subyektif? Apakah keindahan itu berperan dalam kehidupann
manusia.
C. Estetika
dan Ilmu
Estetika dan ilmu merupakan suatu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan , karena sekarang ada kecenderungan orang memandang sebagai ilmu
kesenian (science of art) dengan penekanan watak empiris dari
disiplin filsafat..
Dalam karya seni dapat digali berbagai persoalan obyektif.
Umpamanya persoalan tentang susunan seni, anatomi bentuk, atau pertumbuhan
gaya, dan sebagainya. Penelahaan dengan metode perbandingan dan analisis
teoritis serta penyatupaduan secara kritis menghasilkan sekelompok pengetahuan
ilmiah yang dianggap tidak tertampung oleh nama estetika sebagai filsafat
tentang keindahan. Akhir abad ke-19 bidang ilmu seni ini di Jerman disebut
"kunstwissensechaft". Bila istilah itu diteterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris adalah "general science of art".
E.D. Bruyne dalam bukunya Filosofie van de
Kunst berkata bahwa pada abad ke-19 seni diperlakukan sebagai produk
pengetahuan alami. Sekarang dalam penekanannya sebagai disiplin ilmu, estetika
dipandang sebagai "the theory of sentient knowledge". Estetika juga
diterima sebagai "the theory of the beautiful of
art" atau "the science of beauty".
Sebagai disiplin ilmu, estetika berkembang sehingga mempunyai
perincian yang semakin kaya, antara lain:
- Theories of art,
- Art Histories,
- Aesthetic of Morfology,
- Sociology of Art,
- Anthropology of Art,
- Psychology of Art,
- Logic, Semantic, and Semiology of Art.
Estetika merupakan studi filsafati berdasarkan nilai
apriori dari seni (Panofsky) dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya
dalam seni (Worringer).
Berdasarkan kenyataan pendekatan ilmiah
terhadap seni, dalam estetika dihasilkan sejarah kesenian dan kiritk seni.
Sejarah kesenian bersifat faktual, dan positif, sedangkan kritik seni bersifat
normatif.
Patung Karya Zaman Majapahit,
|
Fakta Evolusi Bentuk
Patung dan Figur manusia, temuan jatidiri Seni Rupa Indonesia
Sejarah kesenian
menguraikan fakta obyektif dari perkembangan evolusi bentuk-bentuk kesenian,
dan mempertimbangkan berbagai interpretasi psikologis. Kritik seni merupakan
kegiatan yang subyektivitas pada suatu bentuk artistik juga moralnya sebagai
pencerminan pandangan hidup penciptanya (seniman). Pertimbangan berdasarkan
ukuran sesuai dengan kebenaran berpikir logis. Maka kiritk hampir selalu
mengarah pada filsafat seni. Baik sejarah maupun kritik seni dituntut
pengenalan sistem untuk mengenal seni dan kesenian.
D. Pengertian Keindahan dalam Seni
Keindahan (beauty) merupakan pengertian seni yang
telah diwariskan oleh bangsa Yunani dahulu. Plato misalnya, menyebut tentang
watak yang indah dan hukuman yang indah. Aristoteles merumuskan keindahan
sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang
indah dan kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan
dalam arti estetis yang disebutnya "symmetria" untuk keindahan
visual, dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran
(auditif). Jadi pengertian keindahan secara luas meliputi keindahan seni, alam,
moral, dan intelektual.
Herbert Read -dalam bukunya The Meaning of
Art merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan arti hubungan-hubungan
bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan inderawi kita. Thomas
Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu yang menyenangkan bila dilihat.
Kant secara eksplisit menitikberatkan estetika kepada teori
keindahan dan seni. Teori keindahan adalah dua hal yang dapat dipelajari secara
ilmiah maupun filsafati. Di samping estetika sebagai filsafat dari keindahan,
ada pendekatan ilmiah tentang keindahan. Yang pertama menunjukkan
identitas obyek artistik, yang kedua obyek keindahan.
Ada dua teori tentang keindahan, yaitu yang
bersifat subyektif dan obyektif, Keindahan subyektif ialah keindahan
yang ada pada mata yang memandang. Keindahan obyektif menempatkan keindahan
pada benda yang dilihat.
Definisi keindahan tidak mesti sama dengan definisi seni. Atau
berarti seni tidak selalu dibatasi oleh keindahan. Menurut kaum empiris dari
jaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi pengamatan terhadap karya
seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap rasa seni, rasa indah,
dan rasa keluhuran (keagungan). Reaksi atas intelektualisme pada akhir abad
ke-19 yang dipelopori oleh John Ruskin dan William Moris adalah mengembalikan
peranan seni (ingat kelahiran gerakan Bauhaus yang terlibat pada perkembangan
seni dan industri di Eropa).
Dari pandangan tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat
diselidiki dari tiga pendekatan yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Di
satu pihak menekankan pada penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak
lain pada upaya subyektif pencipta dan upaya subyektif dari apresiator.
Bila mengingat kembali
pandangan klasik (Yunani) tentang hubungan seni dan keindahan, maka kedua
pendapat ahli di bawah ini sangat mendukung hubungan tersebut; Sortais
menyatakan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat obyektif dari
bentuk(l'esthetique est la science du beau). Lipps berpendapat bahwa
keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subyetif atau pertimbangan
selera (die kunst ist die geflissenliche hervorbringung des schones).
E. Estetika Klasik
Barat: Seni adalah Mimesis
Plato menempatkan seni (yang sekarang dianggap sebagai suatu
karya indah) sebagai suatu produk imitasi (mimesis). Karya imitasi (seni)
tersebut harus memiliki keteraturan dan proporsi yang tepat.
Aristoteles memandang
estetika sebagai "the poetics" yang terutama merupakan
kontribusi terhadap teori sastra daripada teori estetika. Sebenarnya secara
prinsip Aristoteles dan Plato berpandangan sama yaitu membuat konklusi bahwa
seni merupakan proses produktif meniru alam. Aristoteles juga mengembangkan
teori "chatarsis" sebagai suatu serangan kembali terhadap pendapat
Plato. Chatarsis, dalam bentuk kata Indonesia "katarsis" adalah
penyucian emosi-emosi menakutkan, menyedihkan dan lain-lain.
v
Patung karya Pheidias, zaman
Yunani Klasik. Estetika Klasik: Naturalisme
|
F. Estetika Abad Pertengahan
Abad pertengahan merupakan abad gelap yang menghalangi
kreativitas seniman dalam berkarya senii. Agama Nasrani (Kristen) yang mulai
berkembang dan berpengaruh kuat pada masyarakat akan menjadi
"belenggu" seniman.
Gereja Kristen lama
bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal itu.
Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja dan kehidupan sorgawi. Karena
memang kaum gereja beranggapan bahwa seni itu hanyalah/dan selalu
mmemperjuangkan bentuk visual yang sempurna (idealisasi). Manusia merupakan
pusat penciptaan. Segala sesuatu karya kembali kepada manusia
sebagai subyek matternya. Hal ini dinamakan anthroposentris.
Tokoh Renesans (dari kata Renaissance), Leon Battista mengatakan bahwa lukisan adalah
penyajian tiga dimensi. Ia menekankan penggambaran yang setia dan
konsisten dari subyek dramatik sebuah lukisan.
Battista berpendapat
pula bahwa seniman harus mempelajari ilmu anatomi manusia, dan kaidah-kaidah
teknik senirupa yang lain. Dengan kata lain, seniman perlu
mengikuti pendidikan khusus, selain mengembangkan bakat seninya.
Pandangan ini pun diikuti para ahli lainnya dan para seniman di jaman
initermasuk Leonardo dan Vinci. Istilah akademis dalam seni mulai tampak
dirintis, karena ada usaha para seniman untuk mengembangkan ilmu seni secara
rasional (teori yang berlandaskan kaidah seni klasik Yunani/Romawi).
Relief dan Patung pada dinding
Katedral, Estetika Abad Pertengahan
|
G. Estetika Pramodern
Anthony Ashley Cooper mengembangkan metafisika
neoplatoistik yang memimpikan satu dunia yang harmonis yang diciptakan
oleh Tuhan. Aspek- aspek dari alam yang harmonis pada manusia ini termasuk
pengertian moral yang menilai aksi-aksi manusia, dan satu pengertian tentang
keindahan yang menilai dan menghargai seni dan
alam. Keagungan, termasuk keindahan merupakan kategori estetika yang
terpenting
David Hume lebih
banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia mempertahankan bahwa keindahan bukan
suatu kualitas yang objektif dari objek. Yang dikatakan baik atau bagus
ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan manusia, termasuk adat
dan kesenangan pribadi manusia. Hume juga membuat konklusi, meskipun tak ada
standar yang mutlak tentang penilaian keindahan, selera dapat diobyektifkan
oleh pengalaman yang luas, perhatian yang cermat dan sensitivitas pada
kualitas-kualitas dari benda.
Karya Lithograph, Daumier, gaya realisme Estetika
Pramodern: ekspresi yang cenderung otonom
|
Immanuel Kant, seperti
Hume, bertahan bahwa keindahan bukanlah kualitas objektif dari objek. Sebuah
benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi
secara harmonis,diantara imajinasi dan pengertian (pikiran).
Penilaian selera maknanya subjektif dalam arti ini.
|
H. Estetika Kontemporer
Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam sebuah
sistem filosofis dari idealisme. Segala sesuatu yan indah adalah ideal, yang
merupakan aktivitas pikiran. Aktivitas pikiran dibagi menjadi dua yaitu yang
teoritis (logika dan estetika), dan yang praktis (ekonomi dan etika).
Menurut Croce, estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif.
Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran seniman.
Teori ini menyamakan seni dengan intuisi. Hal ini jelas menggolongkan seni
sebagai satu jenis pengetahuan yang berada dalam pikiran, satu cara menolong
penciptaan kembali seni di alam pikiran apresiatoor.
Filsuf Amerika, George Santayana, mengemukakan sebuah estetika
naturalistis. Keindahan disamakan dengan kesenangan rasa, ketika indera
mencerap obyek-obyek seni.
Clive Bell memperkenalkan
lukisan-lukisan Paul Cezanne dan seniman modern lainnya kepada publik Inggris.
Menurut pendapatnya,bentuk sangat penting dan merupakan unsur karya seni
yang bisa menjadikan karya itu bernilai atau tidak.
|
Lukisan
Paul Gauguin (pelopor seni rupa modern Barat, simbolisme),
sezaman dengan Paul
Gauguin (awal abad XX) : "Seni
bukan meniru alam, tapi menggubah alam menjadi karya seni"
I. Estetika Timur
India merupakan negara dan bangsa yang memiliki pandangan seni
(dan estetika) yang berbeda dalam beberapa hal dengan bangsa Eropa. Sebagai
contoh, penggambaran patung di Barat (Eropa) yaitu pada jaman Yunani, merupakan
bentuk manusia ideal, atau mengutamakan keindahan bentuk. Di India patung tidak
selalu serupa dengan manusia biasa, misalnya Durga, Syiwa dengan empat kepala,
dan lain-lain. Padahal temanya yaitu penggambaran patung dewa. Perbedaan ini
akan lebih jelas, sebab seniman India harus mengikuti modus tertentu seperti
yang diterangkan di dalam "dyana" untuk menggambarkan macam-macam
dewa Hindu atau Budha. Dyana berarti meditasi, merupakan proses kejiwaan dari
seseorang yang berusaha untuk mengontrol pkiran dan memusatkan pada suatu soal
tertentu yang akhirnya akan membawanya pada semadi. Sifat-sifat visual dari
gambaran di atas (dalam semadi) kemudian di tulis dalamSilvasastra. Buku
inilah yang menjadi pedoman berkarya selanjutnya. Elemen yang penting dalam
senirupa adalah intuisi mental dan sesuatu hal yang dikonsepsikan dan
personalitas seniman menyatu dengan obyek. Inilah hasil meditasi (dyana). Seni
bukan merupakan imitasi dari alam. Teknik proporsi, perpektif, dsb diterangkan
dalamVisudgarmottarapurna dan Chitra Sutra. Dalam Chitra Sutra
penggambaran yang penting adalah kontinyuitas garis tepi yang harmonis,
ekspresi, dan sikap yang molek. Di India juga mementingkan sikap dan bentuk
yang simbolistis (perlambangan).
Ada beberapa pendapat para ahli India di antaranya:
- Keindahan adalah sesuatu yang menghasilkan
kesenangan. Seni diolah melalui proses kreatiff dari pikiran menuju pada
penciptaan obyek yang dihasilkan oleh getaran emosi. Inti keindahan adalah
emosi (ini pendapat Joganatha).
- Pendapat lain mengatakan bahwa keindahan adalah
sesuatu yang memberikan kesenangan tanpa rasa kegunaan.Yang menyebabkan rasa
estetik adalah faktor luar dan faktor dalam (pendapat Rabindranath Tagore). Ia
juga menerangkan untuk sebuah sajaknya,, bahwa ia tidak dapat menerangkan
bekerjanya proses alamiah yang misterius itu, tetapi seolah- olah terjadi
dengan sendirinya. Nampaknya ada sesuatu di atas kekuasaannya sendiri yang siap
menuntun impulsinya dalam suatu jalan sehingga memungkinkan memberi bentuk pada
pandangan intuisinya dari dalam.
Jelaslah bahwa seniman yang menciptakan obyek keindahan atau
seni adalah didorong oleh potensi teologis.
|
Patung
Budha. Simbolistis, lambang keluhuran
budi pekerti
A. Pendidikan Seni
dalam Kurikulum
Sekolah
Pada bahasan pertama dipaparkan sekilas tentang seni dan
pengertiannya. Bahasan tersebut merupakan pengetahuan dasar menuju wawasan seni
dan konsep keindahan dalam seni. Melalui pemahaman terhadap wawasan seni
tersebut diharapkan menjadi suatu landasan untuk mengembangkan pemikiran kita
tentang seni dan pendidikan seni dengan berbagai persoalannya.
Pendidikan seni di negara kita telah mengalami berbagai
pembaharuan dari waktu ke waktu. Pembaharuan dilakukan guna meningkatkan
kualitas pendidikan seni. Salah satu usaha pemerintah yang secara sentral
memperbaharui sistem pelaksanaan pendidikan seni adalah penyempurnaan
kurikulum.
Kurikulum yang sedang dilaksanakan senantiasa dievaluasi dan
disempurnakan setiap periode tertentu untuk menghadapi perkembangan masyarakat,
ilmu pengetahuan, teknologi, dan dinamika kebudayaan secara keseluruhan.
Kurikulum Pendidikan Seni telah beberapa kali mengalami perubahan dan
penyempurnaan. Pada tahun 1975 terjadi perubahan yang menyeluruh pada mata
pelajaran ekspresi, yang sebelum itu dalam kurikulum sekolah umum dikenal
dengan nama mata pelajaran menggambar dan seni suara. Pembaharuan dapat dilihat
dengan penggantian nama mata pelajaran itu menjadi 'Pendidikan Kesenian'.
Istilah mata pelajaran juga diganti menjadi 'bidang studi',
sehingga pembaharuan itu selengkapnya menjadi 'bidang studi pendidikan
kesenian'. Isi bidang studi pendidikan kesenian itu merupakan penggabungan
pelajaran menggambar dan seni suara ditambah sub bidang studi lain yaitu seni
tari dan teater, yang pada kurikulum sebelumnya tidak ada. Pelajaran menggambar
dan seni suara diubah namanya menjadi seni rupa dan seni musik. Selengkapnya
bidang studi pendidikan kesenian berisi sub-sub bidang studi seni rupa, seni
musik, seni tari, dan seni teater (drama).
Kurikulum 1975 disempurnakan lagi pada tahun 1984 dengan sebutan
kurikulum 1984. Penyempurnaan ini ditandai oleh penggantian istilah pendidikan
kesenian menjadi pendidikan seni.
Kurikulum 1994 Sekolah Dasar yang berlaku sekarang sangat jauh
berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan itu meliputi sistem
pembelajarannya yang menggunakan 'integrated learning' atau pembelajaran
terpadu antara beberapa cabang seni. Nama pendidikan seni berubah pula menjadi
'Kerajinan Tangan dan Kesenian'. Ruang lingkup materi kerajinan tangan meliputi
berbagai kegiatan sederhana kerumahtanggaan yang mudah dilakukan oleh anak-anak
untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan termasuk di dalamnya pekerjaan
kesenirupaan. Sedangkan yang dimaksud kesenian meliputi seni tari (seni gerak),
seni musik (seni suara). Antara pengajaran kerajinan tangan dan kesenian
dianjurkan menjadi suatu larutan yang benar- benar terpadu dan terintegrasi
dalam satu topik (bahasan) pengajarannya. Pengajaran terpadu dalam Kerajinan
Tangan dan Kesenian (disingkat: KTK) ini bermuatan wawasan kedaerahan (muatan
lokal), sebab di dalamnya diharapkan para guru dan siswa mampu menggali seni
kriya (kerajinan) yang tumbuh di daerah sekitarnya.
Seni kerajinan sebagai cabang seni rupa merupakan seni yang
tertua dan bahkan mengakar di setiap pelosok daerah Nusantara ini. Perkembangan
seni kerajinan tradisional ini diangkat menjadi prioritas karena ternyata dunia
pariwisata serta konsumsi kesenian dunia lebih tertarik terhadap seni kerajinan
tradisional yang berkembang di daerah. Selain seni kerajinan tersebut unik,
juga mencerminkan citra estetik khas daerah tertentu, dan menjadi salah satu
identitas budaya bangsa kita.
Jika diteliti
perubahan nama sub-sub bidang studi pada setiap kurikulum yang
disempurnakan, ternyata perubahan itu tidak hanya sekedar penggantian nama,
akan tetapi mengubah pula ruang lingkup pengajarannya. Perubahan itu dilandasi
oleh konsep dasar pendidikan yang berbeda pada setiap kurikulum. Konsep pendidikan
seni yang sekarang kita kenal jauh berbeda dengan konsep pendidikan (mata
pelajaran) menggambar dan seni suara. Perubahan konsep tentu membawa
konsekuensi didaktis dan metodis yang menuntut berbagai persyaratan yang harus
dipenuhi jika kita ingin melaksanakan pendidikan seni dengan memadai.
B. Sifat dan Domain (ranah) Pendidikan Seni
1. Sifat Pendidikan
Seni
Pendidikan seni dikatakan memiliki sifat multi dimensional,
multilingual dan multikultural, sehingga memungkinkan
pelaksanaan yang bervariasi dalam rangka meningkatkan kepekaan rasa estetis,
pemahaman serta kemampuan artistik individu maupun menumbuhkembangkan saling
pengertian dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan seni
mengembangkan kemampuan dasar manusia dalam dimensi fisik, perseptual,
intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (Victor Lowenfeld,
1984). Berbagai jenis kecerdasan manusia (kecerdasan emosi, kecerdasan
intelektual, kecerdasan kreatif, kecerdasan moral, kecerdasan spitritual) mampu
dioptimalkan melalui pendidikan.seni. Melalui pengembangan berbagai kemampuan
tersebut, kepribadian anak diharapkan dapat berkembang sehingga mereka memiliki
kesiapan untuk belajar. Pendidikan seni di setiap tingkat pendidikan dapat
membentuk manusia yang mengembangkan kepekaan estetis, daya cipta, intuitif,
imajinatif, inovatif dan kritis terhadap lingkungannya.
Pendidikan seni
mengembangkan kemampuan manusia dalam berkomunikasi melalui bermacam ragam
bahasa di samping bahasa verbal. Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa
untuk berekspresi dan berkomunikasi secara visual atau rupa, bunyi, gerak dan
keterpaduannya. Selain itu, seni merupakan bahasa rasa dan citra
atauimage. Bila dalam bahasa verbal terdapat kosa kata maka dalam
berbahasa seni terdapat kosa rupa, bunyi dan gerak serta citra atau image yang
berkaitan dengan isi atau obyek dan cara (Primadi T, 1999). Di samping itu bila
dalam bahasa verbal terdapat tata bahasa maka dalam seni terdapat tatanan
artistik dan estetik ((Goldberg M. dalam Camaril, 2001).
Seni, baik sebagai kreasi individu maupun kelompok, merupakan
bagian dan sekaligus cerminan dari suatu kebudayaan. Beragamnya kebudayaan di
dunia -juga di Nusantara-- mengakibatkan beragam pula kesenian yang ada di
dalamnya. Keragaman budaya sekaligus pula menimbulkan daya tarik (karena jika
seni itu seragam akan membosankan).
Pendidikan seni
memupuk rasa persaudaraan dan saling menghargai sesama manusia, serta
menumbuhkan rasa bangga pada budaya yang dimiliki maupun budaya orang lain.
Penghargaan dan kebanggaan terhadap keragaman budaya Nusantara merupakan salah
satu tugas pendidikan seni. Dengan begitu maka seni yang bersifat multikultural
ini dapat pula dijadikan dasar pemersatu bangsa
3. Domain (Dimensi Perilaku) dalam Pendidikan
Seni
Kegiatan pendidikan di sekolah hendaknya mencakup dan
memperhatikan berbagai dimensi perilaku. Brent G. Wilson (Bloom, 1975)
mengemukakan tiga dimensi perilaku dari Bloom, yaitu : kognitif, affektif dan
psikomotorik menjadi tujuh dimensi perilaku seni yang meliputi : Persepsi,
Pengetahuan, Pemahaman, Analisis, Evaluasi, Apresiasi dan Produksi.
Keseluruhan aspek dalam dimensi ini sifatnya berjenjang dan
perlu dipelajari siswa melalui kegiatan seni yang bermacam ragam. Ke tujuh
dimensi perilaku seni ini dapat dipadukan namun perlu ada fokus pembelajaran
agar penyusunan rencana pengajarannya dapat menggambarkan distribusi
pengembangan masing-masing aspek.
Keseluruhan aspek dalam dimensi perilaku seni ini perlu
dilatihkan pada siswa secara bersinambungan sejak awal. Perbedaan penekanan
dalam pengembangan perilaku ini perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan
seni sehingga proporsi bobot dari setiap aspek yang perlu dicapai akan berbeda.
Dalam kenyataan di lapangan kebanyakan guru terjebak pada
kompetensi akhir dari seluruh perilaku belajar seni, yaitu produksi.Mereka
jarang bahkan tidak mengolah terlebih dulu kepekaan indrawi dan rasa tetapi
langsung menugaskan siswa berkarya. Ini bukan berarti segala sesuatunya harus
dimulai dari penjelasan verbal. Yang penting, produksi hendaknya
ditindaklanjuti dengan apresiasi, bahkan pada saat produksi dapat berlangsung
dialog khususnya jika anak mengalamai kesulitan atau terhambat spontanitasnya.
Jika tidak, siswa mungkin hanya akan terampil secara teknis tanpa kurang dalam
kepekaan rasa estetis , imajinatif clan kreatif.
Dalam meningkatkan
kemampuan apresiasi, siswa hendaknya tidak hanya diberi pengetahuan tentang
berbagai cara berkarya atau hasil karya seni tetapi juga dibiasakan
mengidentifikasi, menguraikan, merasakan/empati, sampai pada menilai dalam
tahap elementer, yaitu mengungkapkan di mana aspek-aspek yang menarik dari
hasil karya.
C. Seni sebagai Media Pendidikan
Pernahkan kita menyaksikan anak-anak (di bawah usia 10 tahun)
yang sedang bermain bersama temannya atau bermain sendirian? Betapa asyik anak-
anak bermain 'rumah-rumahan', bermain 'mobil-mobilan', dan aneka permainan yang
disukainya. Mereka bermain sambil berbicara, berpura-pura seperti orang dewasa.
Mereka menirukan gerak-gerik dan perilaku orang tuanya dalam kehidupan rumah
tangga sehari-hari. Benda-benda yang tidak terpakai lagi seperti kotak korek
api, kotak sabun, dan berbagai peralatan sederhana yang mudah dijumpainya di
rumah, dijadikannya 'teman bermain'. Benda-benda mati itu dianggapnya sebagai
benda yang hidup, dan bisa diajak bicara. Betapa anak- anak dalam dunianya itu
penuh imajinasi dan fantasi.
Dengan daya imajinasi dan fantasi itulah anak-anak juga mampu
mengembangkan kemampuan penciptaan permainannya sesuai dengan pengaruh
lingkungan dan pendidikan keluarga yang diterimanya.
Kegiatan bermain merupakan kegiatan jasmani dan rohani yang
penting untuk diperhatikan oleh pendidik (dan orang dewasa). Sebagian besar
perkembangan kepribadian anak, misalnya sikap mental, emosional, kreativitas,
estetika, sosial dan fisik, dibentuk oleh kegiatan permainannya. Permainan
anak-anak yang bernilai edukatif dapat dilakukan melalui kegiatan seni,
khususnya seni rupa. Pengertian seni pada dasarnya adalah permainan yang
memberikan kesenangan batin (rohani), baik bagi yang berkarya seni maupun bagi
yang menikmatinya (Rohidi, 1985:81. Keterkaitan seni dengan permainan juga
dijelaskan oleh Ross (1978).
Salah satu kegiatan seni rupa, sebagai permainan, yang sangat
disukai anak-anak ialah kegiatan menggambar. Hampir setiap anak yang diberi
alat tulis akan menggoreskannya pada bidang kosong. Jika diberi kertas, dia
akan menggoreskannya pada kertas dengan sesuka hati. Jika tidak diberikan
kertas, dia akan mencoretkannya pada dinding atau lantai rumah. Keasyikan
menggambar anak-anak itu merupakan bukti bahwa menggambar baginya sangat
memuaskan dan menyenangkan perasaan. Menggambar bagi anak-anak dapat juga menjadi
alat berkomunikasi dan berekspresi yang utuh sesuai dengan dunianya. Gambar
manusia, benda-benda di sekelilingnya serta aneka flora dan fauna kesenangannya
merupakan hasil ekspresinya, dan menjadi media berkomunikasi dengan orang lain.
Anak-anak yang penalarannya belum berkembang sangat bergairah
berkarya seni, karena kegiatan ini memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi
anak-anak untuk mengungkapkan perasaan atau berekspresi. Ketika penalarannya
bangkit, seni harus dipersiapkan untuk memberikan jalan bagi ekspresi tersebut
sebagai kegiatan yang mereka senangi (Read, 1970:283). Dalam konteks itulah
seni dijadikan media pendidikan. Faedah pendidikan seni, sebagaimana
dikemukakan Vincent Lanier (1969) adalah:
a. memberikan kontribusi terhadap perkembangan
individu,
b. memberikan pengalaman yang berharga
(pengalaman estetik),
c. sebagai bagian yang penting dari kebudayaan.
Jika pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan orang
dewasa dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaannya, maka tentunya pula seni
rupa dapat digunakan sebagai cara dan sekaligus media untuk mendidik anak. Jadi
makna pendidikan dengan menggunakan seni rupa sebagai cara dan sekaligus
sebagai sarananya. Pada bagian ini perlu dijelaskan perbedaan makna antara pendidikan
seni rupa dengan pengajaran seni rupa agar tidak sampai menimbulkan
kesalahtafsiran dalam penggunaan istilah tersebut.
Sasaran pendidikan
rupa di sekolah-sekolah umum, dari tingkat pendidikan dasar sampai menengah,
berbeda dengan sasaran pendidikan seni rupa di sekolah kejuruan, kursus atau
pusat magang kesenirupaan dan kriya. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam
bagan berikut :
USAHA
USAHA
|
Di sekolah kejuruan seni rupa, berlaku pengajaran seni rupa yang
lebih mengutamakan pemberian bekal kepada para siswa agar berhasil sebagai
lulusan yang memiliki kemampuan/keterampilan bidang seni rupa tertentu.
Sedangkan di sekolah umum, pendidikan seni rupa yang diberlakukan kepada semua
siswa, (berbakat maupun tidak) lebih ditekankan kepada pemberian berbagai
pengalaman kesenirupaan sebagai wahana untuk mencapai tujuan pendidikan. Seni
berfungsi sebagai media pendidikan.
Akan tetapi, istilah "seni sebagai media pendidikan"
tidak berarti bahwa kegiatan seninya tidak penting (karena dianggap hanya
sekedar media). Keterlibatan siswa dengan seni tetaplah harus menjadi prioritas
dalam rangka membentuk kemampuan seni atau meningkatkan kemampuan seni yang
sudah ada pada diri para siswa. Upaya peningkatan kualitas belajar menjadi
fokus kegiatan; dan ini berlaku umum dalam program belajar apa pun.
Sebagai pembanding, tujuan utama orang belajar naik sepeda
adalah supaya ia bisa naik sepeda; belajar silat supaya bisa silat, belajar
Tembang Cianjuran supaya bisa melantunkan lagu-lagu Cianjuran yang memiliki
karakteristik tertentu. Kemampuan khusus yang diperoleh itu tadi merupakan
tujuan langsung dari belajar yang disebut sebagai "dampak
utama" (main effect) atau "dampak
pembelajaran" (instructional effect) yang ingin dicapai . Bahwa
akibat dari belajarnya itu ia menjadi tekun, sabar atau sehat, itu adalah
dampak penyerta/pengiring (nurturant effect) yang tentu saja tidak
kurang manfaatnya bagi kepentingan pribadi warga belajar.
Dalam pembelajaran di sekolah, khususnya pembelajaran seni,
dampak instruksional maupun dampak pengiring perlu dirancang sebaik-baiknya
untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
Pendidikan seni rupa
melalui pembelajaran di sekolah, berikut dampak utama dan dampak penyerta yang
ingin dihasilkan, dapat digambarkan sebagai berikut:
|
Konsekuensi logis dari
pemikiran di atas adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan seni
harus berkualitas. Pendidikan seni rupa bukan sekedar kegiatan rutin,
sekedar untuk mengisi jam pelajaran yang tersedia. Siswa harus merasa bahwa
dari kegiatan-kegiatan kesenirupaan di sekolah, ada hasil nyata yang dia
perloleh, ada peningakatan atawa kemajuan yang ia capai: dari tidak tahu
menjadi tahu, dari kurang senang menjadi senang, dari tidak terampil menjadi
lebih terampil, dari kurang bisa menata menjadi lebih bisa menata, dari kurang
bisa membedakan menjadi lebih bisa membedakan (berbagai hal yang menyangkut
kesenirupaan). Secara kodrati, kita semua, khususnya para siswa, tentu tidak
menyukai kegiatan remeh-temeh, kegiatan yang tidak berkualitas, yang hanya membuang-buang
waktu.
D. Pendekatan Berbasis Disiplin Ilmu dalam
Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan seni rupa berbasis disiplin ilmu (dicipline
based art education, disingkat DBAE) berintikan pemikiran bahwa seni telah
hadir dalam kehidupan bukan hanya sebagai kegiatan penciptaan, tetapi juga
sebagai cabang pengetahuan yang menjadi bahan
kajianfilosofis maupun ilmiah dan berhak dipelajari di lembaga
pendidikan. Seni adalah disiplin ilmu yang khas dengan karakter yang
dimilikinya, mendapat dukungan kelompok ilmuwan, dikembangkan melalui
penelitian.
Pendukung Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin berpendapat
bahwa pendidikan seni rupa yang memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengekspresikan ernosinya adalah penting, tetapi jangan sampai mengabaikan
kegiatan mempelajari aspek pengetahuan keilmuannya. Cakupan pendidikan seni
rupa perlu diperluas. Eisner (1987/1988) menegaskan bahwa Pendidikan Seni Rupa
Berbasis Disiplin bertujuan untuk menawarkan program pembelajaran yang
sistematik dan berkelanjutan dalam empat bidang seni rupa yang lazim dalam
kenyataan yaitu bidang penciptaan, penikmatan, pemahaman, dan
penilaian. Keempat bidang tadi disampaikan dalam kegiatan belajar:
produksl seni rupa, kritik seni rupa, sejarah seni rupa dan estetika. Anak
hendaknya tidak hanya diberi kesempatan untuk berekspresi/ menciptakan karya
seni rupa tetapi juga perlu mempelajari bagaimana caranya menikmati suatu karya
seni rupa serta memahami konteks dari sebuah karya seni rupa dari berbagal
masa. Pelaksanaannya tidak harus terpisah tetapi dapat dipadukan.
Pendidikan Seni Rupa
Berbasis Disiplin merupakan suatu pendekatan dan bukan merupakan suatu metode
yang spesifik, maka wujud penampilannya dapat yang bervariasi. Yang jelas,
sasarannya adalah adanya peningkatan kemampuan anak dalam berbagai bidang
kegiatan tersebut. Ciri DBAE adalah : 1. Seni rupa sebagai subyek
dalam pendidikan umum dengan kurikulum yang tertulis serta disusun secara
sistematis mencakup kegiatan ekspresi/kreasi, teori, dan kritik/apresiasi seni
rupa, untuk membangun pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan.
2. Kemampuan anak dikembangkan untuk:
menghasilkan karya, menganalisis, menafsirkan, dan menilai kualitas karya,
mengetahui dan memahami peran seni rupa dalam masyarakat serta memahami
keunikan karya seni rupa dan bagaimana orang memberikan penilaian dan
menguraikan alasan penilaian tersebut.
3. Seni Rupa diimplementasikan dengan dukungan
masyarakat, staf pengembang, nara sumber, dan program penilaian (Dobbs, 1992).
E. Pendekatan
Kompetensi
dalam Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan kompetensi sering dianggap sebagai reaksi atas
pendekatan yang mengacu kepada materi (termasuk DBAE ?). Tetapi jika
direnungkan sebetulnya arahnya sejalan, karena materi yang dipilih pada
dasarnya dijabarkan dari kompetensi yang diharapkan. Bedanya, pada pendekatan
kompetensi terlebih dahulu yang ditetapkan adalah kompetensinya.
Pendekatan kompetensi, dewasa ini mendapat perhatian kembali di
sekolah dan sedang dalam tahap sosialisasi dan pengkajian. Inti pandangannya
adalah bahwa setiap bahan ajar yang dipilih serta metode dan media yang
digunakan harus diarahkan kepada pembentukan kompetensi siswa. Untuk setiap
jenjang pendidikan, perlu ditetapkan kompetensi apa yang harus dikembangkan.
Gagasan ini tampaknya didorong oleh hasrat perlunya menyiapkan sejak dini
pembentukan SDM yang memiliki kemampuan handal, kompetitif, khususnya
menghadapi persaingan global masa depan.
Pendekatan kompetensi sesungguhnya sudah agak lama dikenal dalam
sistem pendidikan guru yang dikenal dengan PGBK (pendidikan guru berdasar
kompetensi). Dalam bidang seni, pendekatan kompetensi menjadi bahan pembahasan
dan disepakati sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembelajaran seni di
Indonesia.
Konsep dasar pendekatan kompetensi adalah seperangkat rencana
dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan
dalam pengembangan kurikulum sekolah (Puskur-Balitbang Depdiknas, 2002).
Dimensi kompetensi
mencakup aspek-aspek yang telah diuraikan di muka yaitu: Persepsi,
Pengetahuan, Pemahaman, Analisis, Evaluasi, Apresiasi, dan Produksi.
Implikasi pendekatan kompetensi dalam aspek pelaksanaan adalah
bahwa kegiatan belajar-mengajar terarah kepada suatu sasaran yang berbentuk kompetensi
siswa setelah mengikuti suatu program dalam limit waktu tertentu. Pembelajaran
tidak asal berlangsung, tapi terkontrol, bertahap, berkelanjutan. Persoalan
dalam pembelajaraan seni adalah, bagaimana halnya dengan kompetensi yang
bermuatan ekspresi-kreasi ? Ekspresi-kreasi sukar diduga, sukar diukur, sukar
dilatih, karena dorongannya ada di dalam diri individu. Dalam hal ini,
ukuran-ukuran kompetensi tak bisa lain kecuali bersifat fleksibel,
multikriteria dan kualitatif, seperti terungkap dari kata-kata:"siswa
memiliki kemampuan berapresiasi.. .,dst".
Pendekatan DBAE maupun
pendekatan kompetensi sama-sama memiliki harapan agar pembelajaran itu
berkualitas dan bermakna, tidak sekedar merasa cukup jika siswa ramai-ramai
berkarya, tetapi karyanya itu-itu juga dari waktu ke waktu baik dalam tema,
bentuk maupun gagasan.
F. Pendidikan Seni
Rupa
sebagai Pendidikan Kreativitas dan Emosi
1. Pendidikan
Kreativitas
De Francesco (1958) menyatakan bahwa pendidikan seni
mempunyai kontribusi terhadap pengembangan individu antara membantu
pengembangan mental, emosional, kreativitas, estetika, sosial, dan fisik. Aspek
kreativiitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Apalagi di masa pembangunan ini, orang yang berdaya kreatif sangat dibutuhkan guna
mengembangkan ide-ide yang konstruktif yang akan membantu pemerintah dan
masyarakat dalam memajukan kehidupan dan berkebudayaan.
Pembinaan kreativitas manusia sebaiknya dilakukan sejak
anak-anak. Kondisi lingkungan yang kreatif dan tersedianya kesempatan melakukan
berbagai kegiatan kreatif bagi anak-anak akan sangat membantu dalam
mengembangkan budaya kreativitasnya. Perlu dingat bahwa dunia anak-anak
merupakan awal perkembangan kreativitasnya. Kreativitas itu nampak di awal
kehidupan anakk dan tampil untuk pertama kalinya dalam bentuk permainan
anak-anak (Hurlock, 1985:328).
Seni sebagai bagian dari kegiatan bermain menempati kedudukan
yang sangat penting dalam pendidikan umum, terutama di Taman Kanak-kanak dan
Sekolah Dasar, jika kita ingin memanfaatkan masa keemasan berekspresi secara
kreatif untuk membina dan mengembangkan kreativitas anak-anak pada usia dini.
Masa keemasan berekspresi kreatif adalah pandangan Pierre
Duquette yang menyediakan makalah untuk seminar Pendidikan Seni Rupa
Internasional yang diselenggarakan di Bristol. Ia juga menegaskan bahwa pada
anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun merupakan the golden age of
creative expression. Ekspresi artistik merupakan salah satu kebutuhan
anak-anak, oleh karena itu kebebasan berkarya dengan berbagai media dan metode
pada kegiatan seni anak-anak menjadi pendekatan utama dalam pendidikan seni
rupa.
Ruang lingkup bahan pengajaran Pendidikan Seni Rupa bagi
anak-anak TK dan SD meliputi kegiatan berkarya dua dimensional dan tiga
dimensional. Kegiatan menggambar, mencetak, menempel, dan kegiatan berkarya
seni rupa dua dimensional lainnya yang menyenangkan anak dengan media dan
cara-cara yang sederhana dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar.
Juga kegiatan mematung, membentuk, merangkai, dan menyusun dari berbagai media
dan dengan cara-cara yang menyenangkan anak akan membantu pengembangan
kreativitasnya.
2. Pendidikan Emosi
Pentingnya pendidikan emosi telah diungkapkan para ahli
pendidikan sejak lama. Fransesco (1958), seorang ahli pendidikan seni rupa
mengemukakan tugas pendidikan seni rupa antara lain sebagai penghalus rasa dan
pendidikan emosi. Dikemukakan, penguasaan emosi sangatlah penting, khususnya
pada manusia di zamann modern. Dalam seni, emosi disalurkan ke dalam wujud yang
memiliki nilai ekspresi-komunikasi. Kegiatan penguasaan dan penyaluran ekspresi
tadi menjadi dinamis dan bersemangat.
Kini, perhatian kepada emosi semakin besar dan studi psikologi
telah menemukan adanya kecerdasan emosi (emotional intelligence) yang saat ini
mulai banyak dibicarakan. Psikologi telah mempelajari bahwa otak memainkan
peranan dalam berbagai kegiatan manusia dalam fungsi-fungsi: kognitif, afektif
(emosional, sosial), fisik (gerak) dan intuitif (Clark, dalam Hanna
Widjaja,1996). Jadi untuk mencapai perkembangan integral, semua fungsi ini
perlu dikembangkan.
Ditengarai, bahwa dalam kehidupan nyata, banyak persoalan yang
dipecahkan secara jitu dengan menggunakan kecerdasan emosi yang sering kali
mendahului berjalannya kecerdasan rasio (intelijen). Orang sering membedakan
antara tindakan yang menggunakan otak dan hati. Mungkin sekali, nenek moyang
kita zaman dahulu banyak mengaktifkan kecerdasan emosi dalam menghadapi
tantangan lingkungannya.
Menurut Daniel Goleman, pakar dalam studi kecerdasan emosi,
kompetensi dalam bidang pengendalian emosi atau kecerdasan emosi (EQ) dapat
dipelajari dan ditingkatkan. Dikaitkan dengan pendapat ini, pendidikan seni
rupa yang banyak melibatkan emosi, intuisi dan imajinasi dapat dijadikan salah
satu cara yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan emosi.
Lebih jauh lagi,
pendidikan seni dapat juga menjadi semacam penyembuh (therapy) atau
penyehat mental dalam hal tercapainya kepuasan dan keberanian baru. Cara yang
efektif untuk pendidikan emosi adalah memberi peluang dan stimulasi yang
memungkinkan para siswa dapat bekerja dengan rasa aman serta penuh percaya
diri. (Fransesco, 1958).
G. Pendidikan Seni
Rupa dan Tujuan
Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan (UURI No.2 tahun 1989 Bab II Pasal 4). Pendidikan seni sebagai
bagian dari Pendidikan Nasional, seyogyanya memperhatikan makna yang terkandung
dalam pernyataan di atas dan berupaya untuk dapat menunjang pelaksanaannya.
Pendidikan seni rupa
juga berperanan dalam menyeimbangkan kehidupan individu dalam pengembangan
kepribadiannya, baik dalam aspek kecerdasan maupun perasaan dan kehendak. Lebih
khusus lagi pendidikan seni dapat menghaluskan rasa, dan mengembangkan daya
cipta, serta mencintai kebudayaan nasional, bahkan menghargai hasil-hasil
kebudayan/kesenian dari bangsa manapun. Hal ini diperlukan dalam rangka
menghadapi kehidupan yang semakin kompleks, yang ditandai dengan arus
globalisasi akibat ledakan teknologi komunikasi.
H. Peranan Guru Seni Rupa
Guru memegang peranan penting dalam pendidikan seni.. Setiap
guru seni perlu memahami kepemipinan bagaimana dan tanggung jawab apa yang
dituntut para siswa serta bimbingan mana yang dapat memberi inspirasi kepada
mereka; apa yang boleh dan yang tidak boleh dia lakukan. Di ruangan kelas,
setiap saat guru senantiasa diperlukan para siswanya.
Peran kunci guru seni, tidak lagi terletak pada mengajarkan
kepada siswa bagaimana cara menggambar, atau memberikan contoh gambar untuk
ditiru siswa, tetapi lebih terfokus kepada penciptaan iklim belajar yang
menunjang, suasana yang akrab serta adanya penerimaan guru atas pribadi para
siswa yang beraneka ragam dengan karya dan gagasan mereka yang bervariasi pula.
Dalam keseluruhan penyelenggaraan kegiatan seni di sekolah, peranan guru adalah
memberi inspirasi, memberi kejelasan/klarifikasi, membantu menerjemahkan
gagasan perasaan dan reaksi siswa ke dalam bentuk-bentuk karya seni yang
terorganisasi secara estetis (Jefferson, 1969); atau, menciptakan iklim yang
menunjang bagi kegiatan "menemukan", "eksplorasi" dan
"produksi". Peranan ini dapat dimainkan guru, baik pada saat awal
ataupun di tengah pelajaran sedang berlangsung. Tentu saja, untuk dapat
berperan seperti ini guru seni perlu "mengasah" kepekaan rasa seninya
secara memadai, melalui kegiatan belajar yang terus-menerus (belajar bisa
diartikan: mengamati, menghayati, mengkaji atau berkarya).
Tugas-tugas guru seni sebetulnya cukup jelas dan spesifik tetapi
jangan diartikan secara kaku. Yang penting, tetaplah berorientasi kepada
kebutuhan belajar siswa. Tugas-tugas guru paling sedikit meliputi lima kegiatan
penting, yaitu: (1) merancang, (2) memotivasi, (3) membimbing, (4)
mengevaluasi, dan (5) menyelenggarakan pameran.
Berikut ini akan dibahas salah satu tugas yang sangat penting
bagi guru dan perlu dikembangkan, tetapi sering diabaikan yaitumemotivasi.
Motivasi berasal dari kata "motif' yang berarti dorongan
untuk berbuat. Jadi motivasi adalah proses yang memungkinkan perilaku seseorang
digerakkan dan diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. (baca: Kleinginna &
Kleinginna, 1981).
Sering dikemukakan orang bahwa dalam kegiatan berkarya seni,
anak- anak tidak perlu dimotivasi, karena mereka sudah dengan sendirinya
menyukai kegiatan ini. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, sebagaimana
terbukti dalam kenyataan. Tidak semua anak secara spontan mampu berkreasi,
sekalipun ia berada pada fase perkembangan yang disebut "the golden
age of creative expression"(masa keemasan ekspresi kreatif), sekitar usia
kelas I - III SD. Kiranya faktor lingkungan budaya turut memegang peranan dalam
hal ini. Spontanitas berekspresi-kreatif pada anak hanya terjadi jika didukung
oleh iklim yang menunjang dan melalui serangkaian pengalaman berkesenian, baik
dalam bentuk kegiatan apresiasi maupun kreasi.
Beberapa cara yang dapat dijadikan alat motivasi oleh guru pada
awal pelajaran seni rupa yaitu: insentif, membangunkan pengalaman pribadi
(ingatan, asosiasi emosional), pengamatan langsung kepada objek di lingkungan,
asosiasi gagasan dengan bahan/media dan perluasan pengetahuan.
Insentif di sini lebih diartikan sebagai
penguatan(reinforcement) bersifat non-material, yang memungkinkan para
siswa tergugah minatnya untuk mengikuti pelajaran. Bentuknya antara lain
berupa: kata-kata pujian, gerak mimik, acungan jempol, atau tanda persetujuan
dan penerimaan guru kepada siswa yang mengemukakan gagasan menarik. Hal ini
dapat dilakukan terutama pada diskusi awal.
Membangunkan ingatan perlu dilakukan, untuk mengungkapkan
kembali pengalaman siswa di masa lalu yang mungkin sudah dilupakan. Caranya,
dengan melakukan pancingan-pancingan kata-kata, kalimat pernyataan atau
pertanyaan yang tak perlu dijawab secara verbal.
Asosiasi emosional hampir sama dengan membangunkan ingatan,
namun lebih diperdalam sehingga dapat menyentuh perasaan dan imajinasi siswa.
Gagasan yang dikaitkan dengan ekspresi menghasilkan karya yang lebih
berkualitas.
Asosiasi gagasan dengan bahan. Artinya, setiap jenis bahan yang
digunakan memiliki karakter khusus yang memancing ide penciptaan. Bandingkan,
apa yang mungkin dihasilkan oleh bahan tanah liat, pastel minyak/crayon, bubur
kertas ? Guru perlu memberi sugesti tentang sifat bahan, variasi kemungkinan
untuk menghasilkan bentuk-bentuk beraneka ragam, yang ditindaklanjuti dengan percobaan-percobaan
oleh siswa.
Memperluas pengetahauan, artinya guru berupaya agar pengetahuan
siap mengenai suatu objek yang telah dimiliki siswa, ditambah, diperkaya oleh
guru maupun siswa-siswa lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan diskusi pada
tahap awal (pra-kegiatan), pada waktu kegiatan sedang berlangsung atau setelah
hasil karya selesai dibuat siswa. Pengetahuan yang luas akan memeperlancar
proses kreasi, bahkan meningkatkan daya tarik hasil karya.
Akhirnya guru perlu memperhatikan juga kapan saat-saat yang
tepat diberikannya motivasi, jangan sampai mengganggu siswa yang sedang asyik
bekerja (Wachowiak dan Clements, 1993).
Jenis kegiatan dalam Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK atau
Kertakes) sangat beragam. Untuk itu marilah kita pelajari beberapa variasi
kegiatan yang semestinya kegiatan ini diujicoba oleh para guru sebelum
memberikannya kepada anak-anak Sekolah Dasar. Dengan mencoba berbagai jenis
kegiatan ini, para guru akan menemukan keunikan, kekhasan, dan hal-hal yang
perlu disampaikan dalam tuntutan berkarya. Sehingga kegiatan pendidikan
kesenian menjadi lebih menggairahkan anak, dan guru tidak kerepotan mencari
materi kegiatan. Tetapi tetap saja kreativitas guru dituntut lebih berkembang
dalam melakukan strategi pembelajaran yang ersifat membangun kreativitas siswa.
Untuk membantu para
guru dan calon guru menentukan dan memilih kegiatan seni rupa, berikut ini
dijelaskan secara garis besar beberapa jenis kegiatan atau materi praktik
pendidikan senirupa.
A. Berkarya Seni Rupa Dwimatra (dua dimensi)
1. Membatik Sederhana
Bahan
dan alat yang diperlukan: lilin, krayon, pewarna, kertas, kuas
sederhana, tempat air/pewarna, dan koran bekas.
Prosedur pengerjaannya:
(a) Membuat kuas sederhana dari kapas dengan lidi atau tusuk
sate sebagai tangkainya. Kuas itu dibuat dengan cara melilitkan sejumlah kapas
pada salah satu ujung lidi atau tusuk sate, besarnya kurang lebih sebesar ibu
jari orang dewasa. Supaya tidak lepas, ujung lilitan kapas diikat dengan tali
atau benang. Buat 3 buah kuas.
(b) Menyiapkan pewarna. Pewarna yang dapat
digunakan pada kegiatan membatik sederhana ini ada yang tergolong pada pewarna
buatan dan pewarna alam. Yang termasuk pewarna buatan di antaranya: cat air,
ontan/sepuhan (berbentuk serbuk), pewarna kue cair. Kunyit, daun suji, buah
ganola, gambir adalah sebagian dari bahan pewarna alam.
Bila sudah ditentukan
pewarna mana yang akan digunakan,buatlah larutan nya pada tempat pewarna yang
sudah disediakan.
Usahakan larutan
pewarna tersebut tidak terlalu encer. Siapkan beberapa macam warna, hal ini
akan diperlukan bila akan membuat gambar yang memiliki banyak warna atau
membuat campuran warna.
(c) Membuat gambar. Buatlah gambar dengan lilin di
atas kertas yang sudah disediakan. Kertas yang digunakan diantaranya: kertas
gambar, kertas hvs, stensil. Tentu saja gambar tidak akan kelihatan.
(d) Memunculkan gambar. Letakkan kertas yang sudah
digambari di atas kertas koran. Pulaslah kertas tersebut dengan kuas sederhana
yang terlebih dahulu dicelupkan pada larutan pewarna. Pemulasan dapat hanya
dengan satu warna, bisa pula beberapa warna bergantung pada pilihan. Bila pada
saat menggambar menggunakan lilin penerangan yang berwarna putih, maka
garis-garis gambar akan berwarna putih. Apabila dikehendaki garis- garis gambar
berwarna, pada saat menggambari kertas harus menggunakan krayon berwarna.
Karya Membatik Sederhana (Media Kertas, lilin, cairan warna)
|
2. Tarikan Benang
Bahan dan alat yang diperlukan: benang kasur, pewarna, kertas
HVS/gambar, koran bekas (alas meja), tempat pewarna(wadah air kecil).
Prosedur pengerjaan:
(a) Siapkan adonan pewarna seperti pada proses
batik sederhana.
(b) Ambil benang kasur sepanjang 40 - 45 cm.
Celupkan sebagian besar benang tersebut pada larutan pewarna. Kalau larutan
pewarna dirasakan terlalu banyak menempel pada benang, sebaiknya diperas
dahulu. Pewarna yang terlalu banyak menempel pada benang akan mengakibatkan
hasil yang kurang memuaskan.
(c) Letakkan benang tersebut pada kertas yang
sudah diletakkan di atas alas koran. Apakah letak benang mau diatur atau bebas
bergantung pembuat. Ujung benang yang tidak terkena warna, harus ada di luar
bidang kertas.
(d) Lipatlah kertas tadi di tengah-tengah sisi
panjangnya.
(e) Sambil menekan kertas dengan salah satu
telapak tangan, tariklah benang sampai keluar dari lipatan kertas. Arah tarikan
bebas.
(f) Buka lipatan kertas. Gambar apa yang terjadi?
(g) Untuk menghasilkan beberapa bentuk dalam satu
bidang gambar/ kertas, lakukan kegiatan yang sama seperti di atas. Dengan
mengubah letak benang, akan diperoleh gambar baru.
Bila dikehendaki
gambar berwarna (lebih dari satu warna), yang harus dilakukan adalah: menarik
benang beberapa kali sesuai dengan jumlah benang yang dicelupkan pada warna
yang berbeda, menarik satu kali tarikan seutas benang yang dicelupkan pada
beberapa warna, menarik satu kali tarikan sejumlah benang yang sudah memiliki
warna masing-masing.
Karya Tiupan Tarikan Benang (media kertas, benang, cairan warna)
|
3. Inkblot
Bahan yang diperlukan pada kegiatan ini hampir sama dengan
kegiatan tarikan benang. Malahan benangnya sendiri pada inkblot tidak diperlukan.
Prosedur pengerjaannya:
(a) Teteskan warna yang sudah disiapkan terlebih
dahulu di atas kertas yang sudah dialasi koran bekas.
(b) Lipat kertas tersebut pada tengah-tengah sisi
panjangnya.
(c) Kertas yang sudah dilipat digosok dengan pinggir
telapak tangan serata mungkin terutama pada bagian yang ditetesi pewarna.
(d) Buka lipatan kertasnya! Gambar apa yang
terjadi?
(e) Untuk menghasilkan gambar yang berwarna lebih
dari satu, ulangi beberapa kali kegiatan seperti di atas, tentu saja warna yang
diteteskan kemudian harus berbeda dengan warna sebelumnya.
Karya Inkblot (media kertas, cairan warna)
|
Dengan meneteskan -sekaligus- beberapa warna
pada permukaan kertas, dan kemudian melipat serta menggosoknya akan dihasilkan
pula gambar yang multi warna.
|
4. Menggambar dengan Tiupan
Bahan yang diperlukan
sama seperti inkblot, tambahannya adalah
sebuah sedotan minuman.
Proses pengerjaannya:
(a) Teteskan cairan pewarna pada kertas yang sudah
diletakkan di atas kertas koran.
(b) Tiuplah tetesan warna itu dengan menggunakan
sedotan. Sambil meniup, sedotan itu digoyang-goyangkan sehingga tetesan warna
akan menyebar ke berbagai arah. Usahakan tidak ada ujung tetesan yang masih
menggenang. Tiup sampai habis.
(c) Dengan meneteskan beberapa warna berbeda dapat
menghasilkan gambar yang beranekawarna.
Karya Gambar Tiupan (media kertas,
cairan warna, sedotan sirup)
|
5. Cetak Penampang,
Daun-daunan, dan Umbi-umbian
Bahan dan alat yang diperlukan: kertas, pewarna, pelepah daun,
buah, daun-daunan, umbi-umbian, pisau, cutter, silet, alas pewarna, spon/busa,
kapas, koran bekas.
Proses pengerjaannya:
(a) Pilihlah penampang apa yang akan dijadikan
acuan cetaknya pelepah daun atau buah-buahan. Pelepah daun yang sering
dijadikan acuan cetak adalah: pelepah daun pisang, pelepah daun talas, pelepah
daun pepaya. Buah belimbing dapat pula dijadikan sebagai acuan cetak.
(b) Potonglah penampang bahan acuan cetak itu
dengan pisau, cutter atau silet. Arah potongan bebas. Usahakan agar permukaan
potongan rata. Kerataan permukaan potongan sangat menentukan hasil cetakannya.
(c) Siapkan pewarna. Pewarna yang disiapkan
bergantung dari keadaan bahan acuan cetaknya. Bila acuan cetaknya masih
mengeluarkan getah/cairan, cukup disediakan serbuk pewarna saja. Pewarna akan
menjadi cair setelah bersatu dengan cairan acuan cetak. Akan tetapi bila acuan
cetaknya tidak mengeluarkan cairan, kita perlu menyediakan pewarna yang sudah
dicampur dengan air.Pewarna serbuk, cukup disebarkan pada alas warna yang
bentuknya datar dan rata misalnya: kaca, formica, lembaran plastik, piring.
Penampang acuan cetak yang mengandung cairan digosok-gosokan pada serbuk warna
yang ditaburkan di alas hingga rata, maka terjadilah warna yang siap pakai.
Pewarna cair dapat dipulaskan pada busa/spon, atau pada kapas.
(d) Mencetakkan acuan cetak. Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan ikutilah petunjuk ini.
1) Penampang acuan cetak yang masih basah tekankan
pada pewarna yang ada pada alas warna tadi.
2) Selanjutnya tempelkan (sambil ditekan) acuan
cetak tersebut pada kertas yang sudah diletakkan di atas koran.
3) Kemudian angkat acuan cetaknya. Gambar acuan
cetak akan tertera pada kertas. Untuk membuat bentuk/gambar yang sama, lakukan
kegiatan seperti yang dilakukan sebelumnya beberapa kali bergantung kebutuhan
pada kertas yang sama atau yang lain.
4) Acuan cetak yang sudah kering (tidak
mengeluarkan cairan), pengisian warnanya harus dengan cara menempelkan acuan
cetak tersebut pada spon/busa, atau kapas yang sudah diisi pewarna.
Pencetakannya sama seperti pada pencetakkan acauan cetak sebelumnya. Demikian
pula pengulangan pencetakkannya.
5) Perlu diperhatikan agar pewarna yang menempel
pada acuan cetak tidak berlebihan, tidak pula kekurangan. Bila hal ini terjadi,
hasil cetakannya tidak akan memuaskan.
Proses pencetakkan daun-daunan dilakukan
sebagai berikut: (a) Pilihlah bentuk daun yang menarik serta ukurannya tidak
terlalu lebar.
(b) Siapkan pewarna pada alas warna seperti pada
cetak penampang. Usahakan agar keadaan pewarna pada alas merata keadaannya,
serta tidak terlalu encer.
(c) Tempelkan permukaan daun tadi serata mungkin
pada alas pewarna.
(d) Selanjutnya permukaan daun yang sudah berwarna
tadi tempelkan pada kertas yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Gosoklah
permukaan daun itu dengan hati-hati. Agar aman dan leluasa menggosok, simpanlah
kertas di atas permukaan daun tersebut.
Bila mencetakkannya
sempurna, bentuk daun serta warna yang dipilih akan tergambarkan pada kertas.
Pada cetak umbi-umbian, kita harus membuat acuan cetak terlebih
dahulu. Umbi-umbian yang biasa digunakan untuk acuan cetak diantaranya adalah:
ubi jalar, kentang, talas, wortel, ketela pohon.
Proses kerjanya sebagai berikut:
(a) Potonglah umbi yang sudah dipilih untuk acuan
cetak serata mungkin.
(b) Buatlah gambar/bentuk pada permukaan potongan
yang rata tadi.
(c) Selanjutnya hilangkan atau rendahkan bagian
permukaan yang nantinya tidak akan memindahkan gambar/bentuk dengan jalan
mengerat atau menorehnya.
(d) Siapkan pewarna sebelum melakukan pencetakkan.
Namun sebaiknya lihat kembali proses pencetakan penampang yang basah dan yang
kering. Pada cetak umbi-umbian-pun berlaku hal seperti itu, karena ternyata ada
umbi- umbian yang masih mengandung cairan dan sebaliknya. Oleh sebab itu untuk
acuan cetak dari umbi-umbian yang masih basah, gunakan serbuk warna. Sedangkan
untuk acuan cetak dari umbi-umbian yang sudah kering, pewarna harus dicampur
dahulu dengan air. Sekali lagi tata cara pencetakkannya lihat proses cetak
penampang.
Perlu diperhatikan
agar pada proses cetak ini (penampang, daun-daunan, dan umbi-umbian), digunakan
alas yang agak empuk. Alas yang keras kurang baik
hasilnya.
W
Karya Cetak Penampang (media
kertas, penampang daun, pelepah pisang)
|
6. Cetak sablon
Alat dan bahan yang dibutuhkan: pisau, cutter, gunting, kuas,
kapas, spon/busa, sisir, sikat gigi, kertas, pewarna, koran bekas, dan tempat
pewarna.
Proses pengerjaannya:
(a) Membuat acuan cetak dari kertas: buatlah
gambar/bentuk untuk acuan cetaknya. Torehlah kontur/pinggir gambar tadi sampai
tembus.
(b) Siapkan pewarna. Buatlah campuran warna pada
tempat yang disediakan. Pewarna pada proses sablon ini sama dengan pewarna yang
digunakan pada proses cetak sebelumnya. Kita dapat menggunakan cat air,
ontan/sepuhan, pewarna kue cair, atau pewarna alam yang sudah disebutkan
sebelumnya.
(c) Letakkan acuan cetak di atas kertas yang masih
utuh. Acuan cetak harus menempel serapat-rapatnya agar tidak terjadi kebocoran
pada saat pemulasan/pencetakkan. Sebaiknya kertas tersebut dialasi kertas
koran.
(d) Ambil kuas, celupkan ke pewarna, selanjutnya pulaskan pada acuan
yang ditoreh tadi.Bila pewarnaan menggunakan kapas atau spon yang dicelupkan
pada pewarna, tentu saja tidak dipulaskan seperti kuas namun kapas atau spon
itu ditekan-tekankan pada lubang acuan cetaknya.
Karya Sablon Sederhana (Percikan Warna pada kertas)
|
Cara sederhana lainnya kita gunakan sikat gigi
dan sisir untuk memberi warna hasil cetakan. Dengan menggosokkan sikat gigi
yang terlebih dahulu dicelupkan ke pewarna pada sisir, akan terjadi cipratan
pewarna yang akan melalui lubang- lubang acuan cetaknya. Hasil cetak berwarna
pada proses ini dapat diatur pada saat memulaskan atau menyemprotkan pewarna.
Bidang mana serta warna apa yang dipilih bergantung pada pilihan masing-masing.
|
7. Monoprint
Alat dan bahan yang
diperlukan: rol karet, pewarna, alas pewarna (kaca,
permukaan benda yang rata dan licin), dan kertas.
Prosedur pengerjaan:
Siapkan pewarna. Pewarna pada proses monoprint
biasanya lebih kental dan agak lengket bila dibanding dengan pewarna yang
digunakan pada proses cetak lainnya. Pewarna yang berbentuk serbuk
(ontan/sepuhan) ditaburkan di atas alas pewarna yang permukaannya datar dan
ukurannya cukup lebar, campurkan sedikit air dan
tambahkan glycerine beberapa tetes diaduk dengan rol karet/plastik
(digelindingkan) hingga rata.
Siapkan pula rol karet/plastik sederhana bisa
dibuat dari bahan yang sederhana pula. Caranya sebagai berikut: siapkan slang
plastik yang berdiameter % inchi sepanjang 15 cm, isi bagian dalam slang itu
dengan kayu yang bulat lubangi masing-masing ujung kayu itu ditengahnya setelah
sebelumnya dirapikan dahulu potongannya, gunakan kawat jemuran yang agak besar
untuk as dan sekaligus pegangan rol tersebut.
Setelah keadaan pewarna cukup merata pada
alasnya, simpan kertas kosong di atasnya. Jangan ditekan.
Gambari kertas tersebut dengan benda yang agak
runcing, pinsil, ballpoint, atau yang lainnya. Tekanan benda tadi akan
mengakibatkan warna yang ada pada alas pewarna akan berpindah menempel pada
kertas.
Gambar yang terjadi akan terbalik keadaannya.
Karya Monoprint
|
8. Finger Painting (lukisan jari tangan)
Bahan yang diperlukan:
kertas gambar, hvs, atau sejenisnya, bubur
terigu, pewarna, kertas koran bekas, dll.
Prosedur pengerjaan:
(a) Letakkan kertas gambar atau sejenisnya di atas
alas koran.
(b) Selanjutnya letakkan bubur terigu di atas
kertas gambar tersebut secukupnya. (Bubur terigu dibuat dari 2 bagian tepung
terigu dicampur 5 bagian air, diaduk rata, selanjutnya dipanaskan di atas api
sampai "matang").
(c) Campurkan pewarna pada bubur yang diletakkan
pada kertas, kemudian aduk hingga rata.
(d) Mulailah menggambar dengan jari-jari tangan dengan
cara menekan menarik, mendorong, menyeret, bubur berwarna pada kertas tadi.
Karya Lukisan Jari Tangan (media
kertas, pasta warna)
|
9. Kolase
Bahan dan alat yang diperlukan: kertas gambar, kertas warna,
kertas limbah, bahan alam, potongan kain, lem, pinsil, gunting, atau/dan
cutter.
Prosedur pengerjaan:
(a) Buatlah rancangan/gambar yang akan
diselesaikan dengan kolase pada kertas gambar yang disediakan.
Karya Kolase (tempelan kertas warna)
|
(b) Jiplakkan bentuk/gambar pada warna sesuai pilihan,
potong/gunting secermat mungkin. Kemudian tempelkan bentuk/gambar tersebut
menggunakan lem pada tempat yang sudah dirancang tadi. Warna yang digunakan
dapat diambil dari kertas warna, potongan kain, limbah percetakan, limbah alam
(daun, kulit pohon dan sebagainya).
|
10. Montase
Bahan dan alat yang
diperlukan: gambar dari majalah/koran/kalender bekas, atau reproduksi potret,
gunting, cutter, lem. Prosedur pengerjaan:
(a) Potonglah gambar-gambar atau reproduksi potret
dari majalah, poster, kalender atau lainnya mengikuti kontur gambar/potret
tersebut. Gambar yang dipotong mungkin hanya bagian tertentu saja.
(b) Susunlah hasil guntingan tadi berdasarkan
kreasi masing-masing, pada kertas gambar yang sudah disediakan. Susunan gambar
tadi akan menghasilkan suatu susunan bentuk yang baru, dan kadang-kadang aneh,
lucu, dan fantastik. Penyusunannya menggunakan lem.
Untuk memberikan kesan gambar yang artistik
dan fantastik, gambar montase ini bisa dilengkapi dengan goresan spidol warna,
atau pulasan cat air pada bagian tertentu yang dianggap perlu.
Karya Montase (media: Kertas
warna, kelender/majalah bekas, lem, gunting)
|
11. Mosaik
Bahan pokok yang dapat dimanfaatkan untuk membuat mosaik ini
sangat beragam. Bahan tersebut misalnya: potongan kertas, lempengan kayu, kaca,
potongan keramik, marmer, biji-bijian, batu-batuan. Alat yang digunakan untuk
mengerjakan bahan tersebut disesuaikan dengan jenis bahan yang akan
ditempelkan, misalnya: triplekss atau karton (sebagai bidang dasar), pensil
(untuk merancang pola gambar), lem (kertas, aibon, lem putih/kayu), cutter
(pisau).
Prosedur pengerjaan:
(a) Buat rancangan, gambar pada kertas yang
disediakan.
(b) Sediakan bahan yang akan ditempelkan.
(c) Tempelkanlah bahan-bahan yang sudah disediakan
itu pada tempat yang sudah dirancang. Perlu diingat bahwa ukuran dari bahan
yang ditempelkan umumnya sama. Pada satu hasil karya mosaik, mungkin saja ada
beberapa kelompok ukuran.
|
Karya Mozaik (tempelan bahan alam/biji-bijan dan kertas) 12. Menggambar Bentuk
Menggambar bentuk adalah kegiatan menggambar dengan meniru
kemiripan bentuk benda model yang disimpan di depan penggambar. Bagi anak SD
kemiripan tidak selalu harus seperti memotret, tetapi yang penting adalah
bagaimana anak-anak bisa mengekspresikan ide/gagasan tentang bentuk benda yang
diamatinya itu. Bahan dan alat yang diperlukan: kertas gambar, benda/model yang
akan digambar, pinsil hitam/pinsil warna/ballpoint/spidol.
Prosedur pengerjaan:
(a) Tempatkan benda/model yang akan digambar di
tengah anak-anak yang akan menggambar.
(b) Anak-anak menggambar benda dengan mencontoh
langsung benda yang dijadikan modelnya sesuai posisi mereka.
(c) Penyelesaian akhir gambar bisa hanya hitam putih, hanya dengan
pinsil saja, dengan ballpoint, atau mungkin dengan pinsil warna.
Mobil juga bisa menjadi objek
menggambar bentuk
|
|
Vas Bunga yang disimpan di meja bisa juga digambar 13. Menggambar Dekoratif
Menggambar dekoratif ialah kegiatan menggambar hiasan (ornamen)
pada kertas gambar, atau pada benda tertentu. Sifat dekoratif pada gambar menunjukkan
fungsi gambar sebagai hiasan (motif hias). Bahan dan alat yang diperlukan:
kertas gambar, pewarna, kuas, pinsil hitam/pinsil warna/spidol.
Prosedur pelaksanaannya:
(a) Buat rancangan atau gambar berupa motif
hias/ornamen pada kertas yang sudah disediakan atau benda 3 dimensi tertentu.
(b) Motif hias bisa berupa stilasi dari alam
(fauna, flora, alam benda), abstrak, atau geometris.
(c) Penyelesaian akhir gambar seperti pada gambar
bentuk, hanya hitam putih saja, atau berwarna.
(d) Warna-warna
yang digunakan bisa diambil dari: pewarna buatan, atau pewarna alam.
'Kx r
A L* /IX
\l /1, v 1
Karya Menggambar Dekoratif
(merancang motif tekstil)
|
14. Menggambar Ilustrasi
Menggambar ilusrtrasi adalah kegiatan menggambar dengan tujuan
untuk melengkapi suatu cerita, teks, atau sebagai penjelasan visual dari suatu
bagian tulisan. Tulisan yang dimaksudkan bisa berupa cerita fiksi ataupun
nonfiksi (pelajaran, ilmu pengetahuan). Bahan dan alat yang diperlukan: kertas
gambar, pinsil hitam, pinsil berwarna, spidol warna, tinta, cat air, kuas cat
air.
Prosedur pelaksanaan.
(a) Membuat rancangan gambar sesuai dengan tema.
Misalnya kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran. Rancangan dibuat dengan
pinsil hitam pada kertas gambar.
(b) Penyelesaian akhir gambar seperti pada gambar bentuk atau gambar
dekorasi. Gambar cukup hitam putih, menggunakan pinsil hitam atau tinta, dapat
juga diselesaikan dengan menggunakan warna. Warna dapat diambil dari pinsil
warna, spidol warna, atau cat air.
Hasil karya menggambar Ilustrasi:
Jembatan
|
15. M3 (melipat, menggunting, menempel)
Kegiatan melipat,
menggunting dan menempel (M3) merupakan permainan menciptakan kreasi bentuk
dengan menggunakan bahan kertas (yang berwarna sebaiknya). Bahan dan alat yang
diperlukan: kertas agak tebal, kertas berwarna, lem, gunting/cutter. Prosedur
pengerjaan:
(a) Ambil selembar kertas warna. Lipat di
tengah-tengah sisi panjangnya. Selanjutnya hasil lipatan tadi dilipat lagi pada
tengah-tengah sisi panjangnya.
(b) Hasil dua kali lipatan tadi digunting pada
beberapa tempat. Ada bagian yang dibuang. Bentuk guntingan bergantung pada
kreasi masing-masing.
(c) Bila dianggap sudah cukup guntingannya, lipatan
dibuka.
(d) Hasilnya ditempel pada kertas yang agak tebal
menggunakan lem.
(e) Jumlah lembaran yang ditempel bervariasi baik
dalam jumlah maupun warnanya.
Karya M3 (Melipat, menggunting dan
menempel)
|
Karya M2 (menggunting dan
menempel)
|
16. Menganyam
Keterampilan anyam merupakan kerajinan yang sudah lama
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan kerajian ini pada awalnya
memiliki bentuk sederhana sebagai karya seni untuk memenuhi kebutuhan praktis
sehari-hari, perkembangan berikutnya kemudian menjadi benda-benda sebagai
hiasan. Jenis kegiatan anyam ini beraneka ragam baik dari segi bahan, maupun
jenis motif anyaman yang digunakan bentuk benda yang dihasilkan.
Bahan-bahan yang sering digunakan orang untuk kerajinan anyam
berasal dari bahan baku alam seperti: bambu, rotan, mendong,
pandan..... maupun
bahan buatan (sintetis) seperti kertas, pita plastik dan
sebagainya. Dari segi
jenis motif yang digunakan dikenal nama-nama motif anyam mata itik, mata kebo,
hujan gerimis, daun asam, katuncar mawur, dsb. Hasil kegiatan anyam dapat
berbentuk anyaman datar maupun anyaman bentuk benda.
Kegiatan kerajinan anyam di sekolah dasar dapat dilakukan pada
jenjang kelas atas (kelas IV - VI). Pada umumnya kegiatan anyam pada jenjang
pendidikan sekolah dasar ini banyak berupa anyam datar, mengngat kemampuan
siswa masih terbatas. Selain tiu bahan yang dapat digunakan juga disesuaikan
dengan bahan-bahan yang tersedia abaik bahan baku yang berasal dari alam maupun
bahan baku buatan yang sudah dijual di masyarakat.
Untuk memudahkan kita mengajarkan menganyam,
maka terlebih dahulu kita harus memberikan pengertian dan penjelasan secara
teori maupun secara praktek kepada siswa yang berkaitan dengan keterampilan
ini. Agar tidak bersifat verbalisme, kita dapat mengenalkan motif-motif yang
dapat dikerjakan yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Berikut ini beberapa
contoh motif anyam:
|
Motif Lengko
|
Motif Pasung
|
Motif Mata Walik
|
Motif
Petai Silang
B. Berkarya Seni Rupa
Trimatra (tiga dimensi)
1. Membutsir
Membutsir adalah
membentuk tanah liat atau lilin (plastisin/malam) menjadi bentuk mainan, patung
kecil atau bentuk tertentu berdasarkan daya cipta. Sebelum dibentuk, tanah liat
sebaiknya dibersihkan dahulu dari butiran batu atau pasir yang kasar, lembutkan
adonannya dengan tangan. Jika terlalu lembek biarkan (diangin-anginkan) hingga
kadar airnya berkurang, dan jika dipegang tanah tidak lengket pada tangan kita.
Namun jika menggunakan plastisin (lilin/malam), tidak akan terjadi masalah
pengolahan bahan. Pada tahap pertama, buatlah bentuk global (dari benda yang
akan diciptakan), kemudian buatlah bentuk rincinya setahap demi setahap. Untuk
menghaluskan permukaan bentuk, gunakan alat butsir (dari kawat atau kayu yang
dibuat menyerupai jari tangan).
Teknik Membutsir dalam pembuatan
patung kepala
|
Dua karya hasil kegiatan membentuk
dari bahan tanah liat
|
Merangkai dari potongan
kertas
Merangkai dari bahan bekas
|
2. Merangkai
Marangkai ialah
menyusun atau menyambungkan bagian benda yang satu ke benda yang lain hingga
membentuk suatu komposisi yang utuh berkesatuan. Susunan atau rangkaian
tersebut menciptakan struktur bentuk, baik bentuk abstrak ataupun naturalistis.
Benda yang disusun bisa berupa buah- buahan, sayur-sayuran, bunga-bungaan,
benda-benda bekas (limbah: kertas, dus, kaleng, botol plastik, kotak korek api,
dsb). Teknik merangkai bermacam- macam, ada yang dihekter, dilem, dipatri,
diikat, tergantung dari kebutuhan dan kemungkinan kekuatan dari konstruksi
susunan tersebut. Kegiatan in bisa berupa kegiatan: merangkai bunga, merangkai
janur, merangkai manik-manik, membuat jembatan dari dus bekas, membuat maket
rumah-rumahan dari kotak korek api, dan sebagainya.
|
3. Membuat Topeng Kertas
Membuat topeng kertas termasuk ke dalam pokok bahasan membentuk.
Topeng dapat dibuat dengan cara: (a) memakai cetakan, dan (b) tidak memakai
cetakan. Membuat topeng yang memakai cetakan, tentu saja tahap pertama ialah
membuat model cetakan (dari bahan lunak, misalnya tanah liat, atau plastisin).
Setelah itu barulah menempeli cetakan itu dengan lembaran kecil-kecil kertas
koran bekas yang dibasahi terlebih dulu. Selanjutnya dibalur lem putih/kanji
untuk kemudian ditempeli lagi potongan kecil kertas koran secara berulang-
ulang hingga tebal. Lapisan tempelan itu bisa 4 atau 5 lapisan. Setiap lapisan
dibubuhi lem putih. Setelah sehari kering, barulah kita lepaskan topeng itu
dari cetakan. Perlu diperhatikan, agar topeng mudah dibuka dari cetakan, maka
cetakan terlebih dahulu harus dibalur oleh minyak (stempet, mentega, atau oli).
Jika topeng ingin lebih menarik, tentu saja memerlukan pengecatan. Di sinilah
anak-anak juga melakukan kegiatan menggambar dekoratif pada permukaan topeng.
Jadi dua pokok bahasan dapat diterapkan pada satu topik kegiatan yaitu membuat
topeng.
Cara membuat topeng
yang kedua lebih mudah karena tanpa harus membuat cetakan. Pertama, siapkan
bahan karton tebal (jenis dupleks atau karton dus bekas) seukuran kuarto/A4 atu
selebar wajah. Setelah itu ukurkanlah kertas itu dengan lebar wajah anak (yang
membuatnya). Jiplak dan guntinglah bentuk dasar wajah itu. Kini karton tersebut
tinggal digambari dengan spidol atau cat untuk bentuk mata, hidung dan mulut.
Letak bagian-bagian wajah ini harus tepat sesuai wajah yang membuatnya. Untuk
membuat hidung, perlu ditambah dengan menempelkan bagian karton lain yang
dibentuk limas segi-3 (seperti bentuk hidung). Jangan lupa mata dan hidung
dilubangi dengan pisau/gunting. Sebagai langkah terakhir ialah pengecatan
topeng. Proses terakhir ini merupakan kegiatan menggambar dekoratif, sebab
tujuannya untuk menghiasi topeng wajah dengan spidol warna, cat air, cat
poster, atau krayon.
Karya Topeng kertas yang telah
dicat (untuk keperluan drama/tari)
|
4. Membuat Wayang Kertas
Membuat wayang kertas
termasuk kegiatan menggambar dan sekaligus membentuk. Teknik membuat wayang
kulit dijadikan sebagai acuan prosedur kerja. Prosesnya dimulai dengan
penggambaran rancangan pada karton (setebal kulit, misalnya dupleks atau karton
bekas dus), pengguntingan pola/rancangan itu, menyungging (untuk kulit atau
melubangi kertas dengan psau atau pahat) dan yang terakhir pewarnaan atau
penggambaran (dekoratif) pada wayang kertas tersebut berdasarkan kebebasan
berkreasi anak-anak.
|
Gunungan dan Wayang Kulit dari bahan kertas
C. ORIGAMI (Seni Melipat Kertas)
Di Jepang, seni melipat kertas ini dinamakan
Origami. Kertas yang digunakan ialah kertas tipis (70 - 100 gram) berukuran
bujur sangkar (segi-4 beraturan sama sisi). Dengan melipat kertas kita dapat
membuat aneka bentuk hiasan dan mainan yang tiga dimensional, serta mendekati
rupa makhluk hidup atau benda sehari-hari yang akrab dengan lingkungan kita.
Oleh karena yang disajikan pada lembaran ini hanya beberapa contoh lipatan,
maka untuk memperkayanya, kembangkan imajinasi dan fantasi Anda dengan mencoba
menciptakan beberapa bentuk lain dengan teknik melipat. Ikuti urutan
(berdasarkan nomor) tentang prosedur kerjanya.
Sumber: e-book ini diunduh dari pendidikan seni rupa dan kerajinan stkip madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar